THIRTY ONE

15.4K 1.4K 1
                                    

Perusahaan milik Papa mengalami kebangkrutan setahun setelah aku memutuskan pergi ke Jakarta. Kata Budhe ada orang dalam yang mengkorupsi uang perusahaan untuk kepentingan pribadi. Papa jatuh bangun memperbaiki semuanya, bahkan sampai menjual beberapa aset pribadi yang dimilikinya demi membayar hutang-hutang yang jumlahnya tidak sedikit.

Dua tahun setelahnya perusahaan Papa bangkit kembali. Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Perusahaan yang susah payah dibangun mulai dari nol bersama mama dulu itu pun akhirnya mengalami gulung tikar. Usut punya usut,  ternyata ada pengkhianat di perusahaan yang diam-diam mengambil semua klien Papa dan menghancurkan nama baik perusahaan. Lagi-lagi Papa menjual hampir semua aset milikinya untuk memberi pesangon pada semua karyawannya. Dan dalam sekejap, Papa telah kehilangan semuanya.

Sejak itu kondisi kesehatan Papa menurun. Papa tidak lagi bekerja dan hanya menerima jasa lukis dirumah. Papa memang pandai melukis. Diwaktu luang, disela-sela kesibukannya dikantor, Papa akan menyempatkan diri melukis diruang rahasia miliknya. Ruang yang khusus menyimpan peralatan lukis Papa dan juga hasil karya-karyanya yang luar biasa menakjubkan.

Aku ingat, mama pernah bercerita tentang hobby Papa yang satu itu. Yang dulu mati-matian ditentang oleh Opa karena menurut beliau seorang pelukis itu tidak ada masa depannya. Opa memaksa Papa melanjutkan bisnis keluarga sampai akhirnya bisa membangun perusahaan sendiri bersama mama.

Istri baru Papa, yang juga sekretaris pribadinya, yang juga menjadi orang ketiga dalam kehancuran keluargaku, perlahan menunjukkan sifat aslinya. Kata Budhe, orang dalam dan pengkhianat yang mengakibatkan perusahaan gulung tikar ternyata adalah perempuan ular itu.

Dia tidak lagi peduli pada Papa. Sering keluar untuk berfoya-foya menghabiskan sisa Harta yang Papa punya. Sampai akhirnya perempuan itu meninggalkan Papa karena baginya Papa sudah tidak bisa lagi menghidupi gaya hidupnya yang hedonis itu.

Papa hidup sebatang kara dalam kondisi sakit-sakitan. Hanya Budhe yang akhirnya membantu merawat Papa. Budhe bilang Papa sangat menyesal sudah menelantarkan keluarganya demi perempuan seperti sekretarisnya itu. Papa sadar semua yang terjadi padanya adalah Karma dari Tuhan. Papa selalu berkata pada budhe bahwa dia rindu padaku dan ingin bertemu denganku. Tapi, papa tidak pernah punya keberanian untuk menghubungiku.

Sekilas itulah yang diceritakan budhe padaku tentang kondisi Papa selama ini. Dan aku tidak bisa membendung air mataku selama budhe menceritakan semuanya. Aku menyesal telah menutup mata dan hatiku selama ini. Bagaimanapun juga, apapun itu yang terjadi padanya, papa adalah tetap papa. Dia adalah lelaki yang pertama kali mengajariku cara berjalan, cara mengendarai sepeda, dan lelaki yang ada di garda paling depan ketika anak perempuan satu-satunya terluka.

Sayangnya, Papa juga lah yang pada akhirnya menjadi orang pertama yang melukai hatiku dan meninggalkan luka yang menganga cukup dalam hingga susah disembuhkan.

"Astaga, Bila! Itu air panas!"

Lamunanku buyar seketika, saat suara teriakan dokter Rama terdengar panik. Aku, yang sedang tidak dalam keadaan konsentrasi ini dengan bodohnya menyentuh teko berisi air mendidih dengan tangan kosong.

"Argh! Panas!"

Refleks aku berteriak sambil mengibas-ibaskan tanganku ke udara. Rasanya seperti terbakar. Dokter Rama yang baru saja bangun tidur buru-buru berlarian mendekatiku. Dengan sigap dia meraih jemariku lalu meletakkannya dibawah air kran dingin yang mengalir. Dan benar saja, tanganku melepuh seketika.

Tanpa banyak bicara dokter Rama menuntunku duduk disofa. Lalu dia berlari ke kamar dan kembali dengan cepat sambil membawa salep yang kutahu memang salep khusus untuk luka bakar. Omong-omong dia dapat darimana ya salep itu?

"Saya selalu bawa kotak P3K, Bi." Katanya seolah tahu isi pikiranku.

"Ugh, pelan-pelan dok. Periiihhh..." Ringisku saat dia dengan telaten mengoleskan salep itu ke tanganku yang melepuh. Ada gelenyar aneh yang kurasakan saat menatap wajahnya yang serius itu dalam jarak sedekat ini. Lelaki didepanku ini memang tampak ganteng luar biasa. Pantas saja banyak perempuan diluar sana yang rela berebut perhatian darinya. Dan mendadak, aku merasa menjadi perempuan yang beruntung. Yang tanpa bersusah payah sudah mendapat perhatian khususnya.

"Lagian kamu itu ngelamunin apa sih, Bi? Bisa-bisanya air mendidih gitu dipegang pake tangan. Kamu kira lagi debus?"

Aku tertawa tertahan mendengar omelannya. Wajahnya yang tadi panik kini berubah kesal. Mendadak aku jadi merinding ditatap seperti itu. Refleks aku menjauhkan tubuhku, menjaga jarak. Kudengar dia menghembuskan napas kasar sebelum akhirnya menarik tubuhku dalam pelukan.

"Maafkan saya. Saya cuma khawatir sama kamu." Katanya sambil mengusap lembut rambut panjangku. "Lain kali, kamu minta tolong sama saya bisa kan?"

Aku mengangguk dalam dekapannya yang terasa hangat. Aroma parfumnya yang khas bercampur keringat entah kenapa menimbulkan sensasi rasa nyaman.

"Bila, kamu udah bangun belum?"

Suara teriakan budhe Ratna membuat dokter Rama buru-buru mengurai pelukannya. Mungkin dia takut budhe Ratna berpikiran yang iya-iya. Apalagi semalam aku memang memutuskan tidur di rumah Papa daripada dirumah Budhe. Dan dokter Rama memilih menemaniku. Lagipula kita juga tidur terpisah kok. Aku tidur dikamarku dulu sambil bernostalgia, sedangkan dokter Rama tidur dikamar tamu.

Rencananya hari ini aku akan kerumah sakit dimana tempat papa dirawat. Pagi-pagi aku sudah bangun, karena sejujurnya aku tidak bisa tidur semalam. Otakku sibuk memutar ulang peristiwa-peristiwa masa lalu. Kondisi kamarku juga nyatanya tidak banyak berubah. Semuanya masih sama dan anehnya hanya sedikit berdebu. Padahal bertahun-tahun ditinggalkan. Sepertinya memang kamar ini rutin dibersihkan.

"Eh, dokter ganteng juga udah bangun. Sarapan dulu yuk. Budhe udah siapin dirumah. Ada Pak dhe juga, Bil. Kamu kan kemarin belum sempat ketemu."

Aku mengangguk, pamit mandi dulu. Begitu juga dokter Rama. Tapi baru selangkah, mendadak budhe menahan tanganku.

"Bila, itu tangan kamu kenapa?" Tanyanya panik saat melihat tanganku yang memerah.

"Nggak apa-apa budhe. Cuma ketumpahan air panas dikit."

"Kok bisa? Sini, budhe liat." Tanganku ditarik paksa, aku meringis perih. "Kamu tuh kok nggak hati-hati to nduk?"

"Nggak sengaja budhe."

"Hmm... Untung pacar kamu dokter. Ganteng banget lagi. Duh, kalau sama yang ini, budhe seratus persen restui kamu Bil." Katanya dengan mata berbinar-binar. Sejak pertama kali kukenalkan, budhe memang sudah jatuh hati pada sosok dokter Rama.

"Dia bukan pacar Bila, budhe." Koreksiku.  Memang tidak ada status apa-apa diantara kami. Dia tidak meminta jawabanku, dan aku sendiri juga masih meyakinkan isi hatiku yang sebenarnya.

"Bukan pacar tapi calon suami. Aduh, kalau aja si Hanin udah lulus sekolahnya, budhe mau cariin mantu kayak dokter Rama. Udah ganteng, baik, pinter, sopan, mapan, hmm...benar-benar idaman deh."

Aku tertawa mendengar budhe Ratna begitu memuja-muja sosok dokter Rama. Kalau di rumah sakit, mungkin budhe udah ikutan jadi anggota fans harus kerasnya lelaki itu.

***

Hey, Bi! #Wattys2018Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin