THIRTY FOUR

15.7K 1.4K 14
                                    

Aku percaya bahwa doa bisa mengubah segalanya. Mengubah hal yang susah, menjadi mudah. Mengubah hal yang tidak mungkin menjadi mungkin. Oleh sebab itu, setiap detik aku tidak pernah berhenti berdoa. Aku berdoa untuk kesembuhan papa. Aku berharap Papa kembali sehat seperti sedia kala. Aku ingin menebus semua waktu yang telah kusia-siakan selama ini.

Tuhan pun berbaik hati mengabulkan segala doa-doaku. Kondisi papa perlahan membaik. Papa sudah bisa bicara meski hanya sepatah dua patah kata. Sejak dua hari yang lalu aku terus menemaninya dirumah sakit bergantian dengan dokter Rama. Lelaki itu juga dengan Setia menemaniku. Tidak beranjak sedikitpun dari sisiku.

Sebenarnya Budhe menyuruhku agar pulang saja dan istirahat dirumah. Lagipula di rumah sakit pun papa juga sudah ada yang menjaga. Tapi aku tidak mau. Aku tidak ingin melewatkan sedetikpun tanpa papa. Aku tidak ingin ketinggalan informasi apapun tentang kesehatan Papa. Aku takut hal yang dulu terjadi pada mama terulang kembali.

Mama pergi meninggalkan aku disaat aku tidak ada disisinya. Mama pergi tanpa pesan. Tanpa ucapan perpisahan selamat tinggal.

Mataku nanar menatap wajah papa yang pucat dan badannya yang kurus kering. Lagi-lagi air mataku menetes tanpa terasa. Dua hari ini aku benar-benar tidak berhenti menangis. Mataku sembab, bengkak, dan hidungku memerah. Aku sudah tidak bisa lagi membayangkan bagaimana wajahku sekarang.

"Pa, papa udah bangun?" Buru-buru kuhapus air mataku saat kelopak mata Papa bergerak-gerak lalu terbuka sepenuhnya.

Sudut bibir Papa berkedut samar. Papa tersenyum tipis. Ditatapnya aku penuh penyesalan dan kerinduan yang mendalam. Sampai matanya meneteskan air mata.

"Bi-bila... " Suara papa lemah dan pelan. Tapi aku masih sanggup mendengarnya. "Ma-maaf. Mm-maafkan pa-papa."

Aku bangkit dari kursi, sengaja kubungkukkan tubuhku mendekat ke arah Papa. Kupeluk tubuh papa yang kurus. Air mataku kembali mengalir deras. Betapa tubuh kurus ini dulu adalah tempatku mengadu dan berkeluh kesah. Betapa tubuh kurus ini dulu adalah tempatku berlindung dari omelan mama. Betapa tubuh kurus ini dulu adalah tempatku bermanja-manja.

Otakku memutar ulang peristiwa-peristiwa yang dulu terjadi sewaktu aku kecil. Semuanya berputar seperti film. Papa. Aku menyayangimu, Pa. Aku selalu menyayangimu.

"Maafin Bila, pah. Maafin Bila." Ucapku sambil menangis tersedu-sedu.

Sungguh memang penyesalan selalu datang belakangan. Sampai kita sadar bahwa permintaan maaf kadang terabaikan. Sampai kita sadar bahwa kehilangan itu ternyata menyakitkan.

Dan aku, tidak ingin kehilangan papa.

***
"Kamu baik-baik ya. Jangan sampai lupa makan."

Aku mengangguk, membalas pelukan dokter Rama yang terasa menenangkan. Hari ini, lelaki itu harus kembali ke Jakarta. Tanggung jawabnya sebagai dokter Kepala menuntut dokter Rama untuk segera kembali bekerja. Apalagi kepergiannya yang mendadak seperti kemarin, pasti banyak hal yang dengan sengaja ditinggalkannya dan dikorbankannya.

Sebenarnya ijin cutiku juga sudah habis. Kemarin aku hanya diberi ijin waktu tiga hari. Harusnya aku juga kembali ke Jakarta bersama dokter Rama. Tapi, melihat bagaimana kondisi papa, rasanya aku tidak tega. Apalagi kondisi papa baru saja membaik. Aku ingin sedikit lebih lama berada disamping papa.

Akhirnya aku pun memberanikan diri menelpon bu Merlin, dan untungnya kepala ruanganku yang super disiplin itu mau mengerti dan menambah ijin cutiku dua hari lagi. Tentunya dibantu juga dengan lelaki didepanku ini. Dan aku banyak berhutang terima Kasih padanya.

"Makasih dok." Ucapku tulus, kuurai pelukannya, kutatap wajahnya yang terlihat lelah. "Saya nggak tau lagi harus bagaimana membalas semua kebaikan dokter."

Hey, Bi! #Wattys2018Where stories live. Discover now