THIRTY THREE

15.7K 1.4K 8
                                    

Setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan dalam hidupnya. Kesalahan yang mengakibatkan penyesalan. Penyesalan yang bahkan mungkin tidak termaafkan. Maaf yang juga tidak lagi bisa memutar kembali waktu dan mengembalikan semua keadaan.

Aku banyak berandai-andai. Seandainya waktu itu aku tidak pergi? Seandainya waktu itu aku mau memaafkan papa? Seandainya mama masih ada disini? Akankah semua ini bisa terjadi?

Sayangnya, aku tidak bisa melakukannya. Aku tidak bisa memutar kembali waktu. Semua yang sudah terjadi, terlanjur terjadi.

Tangisku tidak kunjung reda. Tubuh yang dulu keras dan tangguh itu kini terbaring lemah diranjang. Selang infus dan beberapa peralatan medis terhubung di tubuhnya, membantunya tetap bertahan. Melihat kondisi Papa sekarang, hatiku rasanya sakit. Rasa marah, benci, dan dendam yang selama ini membelenggu tiba-tiba menguap begitu saja.

Satu hal yang kusadari berikutnya, bahwa jauh didalam hatiku, aku masih sangat mencintai Papa. Rasa sayangku padanya tidak berkurang sedikitpun, meski papa sudah melukai hatiku cukup dalam.

Papa menyadari kedatanganku. Dengan gerakan mata, papa memintaku untuk mendekat. Kuhela napas panjang, sebelum akhirnya melangkah perlahan kearahnya. Aku duduk dibangku yang sepertinya memang disediakan disamping ranjang. Kami saling diam. Yang terdengar hanya suara mesin detak jantung papa dan sisa isak tangisku.

Masker oksigen yang terpasang dimulut Papa membuatnya tidak bisa bicara. Setetes air mata jatuh di sudut matanya. Hanya lewat tatapan itulah akhirnya aku mengerti. Papa sedang berusaha minta maaf padaku. Maaf untuk segala perselisihan yang terjadi diantara kami selama ini.

Aku mengangguk. Kugenggam tangannya yang kini terasa begitu rapuh. Bendungan air mataku kembali runtuh. "Bila juga minta maaf, Pa. Maafin Bila."

Sudah saatnya aku belajar memaafkan. Bukan hanya demi papa, tapi juga almarhumah mama, dan juga demi hatiku sendiri.

Kupeluk tubuh kurus Papa. Aku merasa sangat berdosa padanya. Aku merasa benar-benar menjadi anak yang durhaka. Maafkan aku, Pa. Tolong sembuh demi aku, Pa.

Ya Tuhan. Berikan aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Ijinkan aku untuk bisa kembali melihat senyum Papa.

***

"Bi, bangun sayang."

Usapan lembut dirambutku memaksa mataku yang tadinya terpejam kini terbuka lebar. Aku mengangkat kepala. Dokter Rama berdiri didepanku, setengah membungkuk mensejajarkan tingginya denganku.

"Makan dulu, ya. Dari siang perut kamu belum keisi lho."

Aku menggeleng pelan. Rasanya aku sudah tidak nafsu lagi untuk makan. Jam didinding sudah menunjukkan pukul lima sore. Sejak pagi aku hanya duduk disamping ranjang Papa, tanpa sedetik pun meninggalkannya. Aku bahkan sampai ketiduran dengan posisi yang sekarang membuat pinggang dan leherku rasanya mau copot.

Aku ingin terus menemani Papa, berada disampingnya. Aku hanya ingin menebus semua waktu yang selama ini kulewati tanpa Papa. Aku takut, jika aku beranjak barang sedetik, maka Papa akan pergi meninggalkanku. Sama, seperti mama dulu.

Dulu, mama pergi meninggalkanku tanpa pesan. Mama pergi secara tiba-tiba. Membawa semua sakit dan luka dihatinya. Seandainya dulu aku tidak meninggalkan mama, mungkin saat ini mama masih disini.

Lagi-lagi tentang 'seandainya'. Selama beberapa tahun setelah kepergian mama, aku hampir gila. Aku merasa nyawaku hilang separuhnya. Aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri. Aku terus-terusan menyalahkan diriku sendiri. Aku tidak bisa menerima keadaan. Sampai akhirnya aku benar-benar jatuh dalam keterpurukan.

"Nanti kamu sakit. Makan dulu yuk, saya suapin deh." Ucap dokter Rama membuyarkan lamunanku.

Lelaki didepanku ini pantang menyerah membujukku untuk makan. Ditangannya, ada sekotak nasi uduk yang aromanya menggelitik hidung.

Aku menelan ludah kasar. Sebenarnya aku memang lapar. Tapi entah kenapa rasanya aku tidak ingin makan. Sampai tiba-tiba, perutku berbunyi cukup keras. Aku meringis malu, saat dokter Rama menatapku dengan tawa tertahan yang tampak senang karena memenangkan perdebatan.

"Tuh, perut kamu udah pada demo. Udah ayo sini. Saya suapin."

Aku pasrah saat tanganku ditarik paksa oleh dokter Rama. Dia mendudukkan aku disofa diujung ruangan. Mataku tidak lepas dari kegiatannya memotong-motong daging menjadi potongan yang lebih kecil. Wajah gantengnya terlihat lelah. Karena sejak pagi lelaki itu juga menemaniku disini.

Dokter Rama juga sudah kuperkenalkan pada Papa. Bukan sebagai pacar, apalagi calon suami seperti yang dia gembor-gemborkan kemarin pada Pak dhe dan juga Budhe. Dia kuperkenalkan sebagai atasan sekaligus temanku di Jakarta. Untuk pertama kalinya, dokter Rama tidak membantah dan tidak banyak bicara.

Reaksi papa juga tidak bisa kutebak. Hanya saja sudut bibirnya tampak tertarik dibalik masker oksigen yang dipakainya. Dan entah kenapa aku merasa lega. Setidaknya papa menyukai kehadiran dokter Rama.

"Saya bisa makan sendiri kok, dok." Ucapku tidak enak hati, berusaha mengambil alih sendok ditangannya. Tapi dokter Rama mencegah tanganku. Disodorkannya sesuap nasi kearahku.

"Aaaaa, buka mulutnya." Aku menurut, pasrah membuka mulutku. "Pintar." Ucapnya saat nasi itu sudah memasuki rongga mulutku.

"Dokter udah makan emang?" Tanyaku.

"Udah sayang."

Apa katanya? Sayang? Aku melotot. Tadi waktu dia membangunkan aku, sepertinya dia juga memanggilku begitu. Kupikir aku masih mimpi. Makanya aku tidak ambil pusing. Tapi barusan, dia bilang begitu lagi.

Refleks kupukul lengannya pelan. "Apaan sih, dok. Geli ih."

Bukannya marah, dia malah tertawa. "Geli apanya? Saya kan belum apa-apain kamu."

Kupukul lagi lengannya. Kali ini lebih keras sampai dia mengaduh. "Mesum!"

"Mesum apa sih, Bi? Saya heran, sejak pertama kita ketemu kamu selalu aja mikir saya ini mesum."

Otakku kembali memutar peristiwa awal pertemuan kami. Wajahku mendadak memerah saat mengingat lelaki yang sudah dengan kurang ajar menyentuhku.

"Itu kenapa muka kamu merah gitu?"

"Nggak apa-apa. Panas aja." Ucapku sambil mengibas-ibaskan tanganku didepan wajah. Salah tingkah.

"Hmm, daripada saya kamu pukul terus
Mending dicium aja. Saya rela kok."

Lagi-lagi aku melotot. "Dokter! Jangan ngomong aneh-aneh, ish. Nanti papa denger." Kataku bisik-bisik. Kulirik Papa ,masih tidur tenang. Untung saja tidak sampai kedengaran.

"Biarin aja Papa kamu denger. Biar saya disuruh nikahin anaknya cepet-cepet."

Kali ini bukan hanya kupukul lengannya, tapi juga kucubit perutnya yang keras seperti papan itu.

"Aduh, sakit sayang. Kamu tuh selalu deh KDRT."

'Sayang' lagi. Orang ini kesambet apa sih daritadi ngomongnya 'sayang' terus.

"Mana ada KDRT? Kita aja belum berumah tangga."

"Oh jadi ini kode biar saya segera menghalalkan kamu ya? Biar kita bisa membangun rumah tangga?"

Aduh. Salah ngomong lagi.

"Dokter apaan sih. Siapa juga yang kode-kode?"

Dia tertawa. Dan aku makin keki dibuatnya. "Iya iya. Kamu nggak perlu repot-repot pake kode kok, Bi. Tinggal ngomong aja langsung ke saya. Insya allah Saya akan secepatnya menghalalkan kamu."

***


Terus, gue kapan dong dihalalin? 😝

Hey, Bi! #Wattys2018Where stories live. Discover now