THIRTY

15.4K 1.4K 10
                                    

"Jadi, saya masih punya kesempatan kan?"

"Untuk?"

"Menjadikan kamu milik Saya seutuhnya."

Tubuhku mendadak kaku dan bibirku kelu. Seolah terkena sengatan listrik, aku masih terdiam membisu selama beberapa detik. Aku tidak tahu harus bereaksi bagaimana, pernyataannya barusan benar-benar diluar dugaanku.

Setelah beberapa hari aku merasa hubungan kami menjauh, bahkan seperti dua orang yang tidak pernah saling kenal, kenapa dia tiba-tiba berkata seperti itu?

Digenggamnya kedua jemariku, tatapanya lembut dan penuh harap.
"Bi... Saya jatuh Cinta sama kamu."

Ucapnya lugas dan tegas. Bisa kurasakan jantungku serasa meluncur ke perut bersamaan dengan ribuan kupu-kupu yang beterbangan disana. Jujur saja aku tidak percaya dengan pengakuannya yang tiba-tiba. Siapa yang menyangka lelaki dengan sejuta pesona dan kelebihan seperti dia bisa jatuh Cinta sama perempuan sepertiku. Apalagi jika dibandingkan dengan pacar dia sebelumnya, Katy. Aku bahkan jauh dibawahnya.

Belum lagi perempuan-perempuan yang selama ini berusaha mendekatinya. Mulai dari dokter Sarah, dokter gigi yang juga paling cantik dirumah sakit, sampai model majalah dewasa macam Nikita, yang ternyata juga mantan pacarnya dulu semasa SMA. Ibarat pepatah jaman sekarang, aku ini hanya remahan rengginang. Sedangkan mereka itu ibarat remahan Sari roti.

Bukannya merendah, aku hanya masih tidak percaya orang seperti dokter Rama menaruh hatinya padaku. Kalau boleh jujur, aku ini juga termasuk manis cenderung imut kok. Tubuhku memang pendek sih, tidak setinggi mereka. Tapi bukannya orang pendek itu menggemaskan? Iya nggak sih?

"Ke-kenapa? Kenapa saya?" Diantara sekian banyak pertanyaan yang ada dikepalaku, akhirnya hanya pertanyaan itu yang keluar dari mulutku.

"Saya tidak tahu. Bagi saya jatuh Cinta tidak butuh alasan."

Aku tidak ingin percaya. Pandanganku tertuju kearah matanya, mencari adanya kebohongan disana. Tapi, mau tidak mau aku mengakuinya, begitu melihat bagaimana kesungguhan dan ketulusan yang terpancar dari sana.

"Sejak kapan?" Tanyaku bergetar. Rasanya aku masih syok dengan pengakuannya.

"Sejak kamu menampar saya gara-gara kopi. Kamu ingat?"

Mataku membulat. Aku mengangguk. Tentu saja aku ingat. Dan kejadian itu kan sudah lama sekali. Benarkah dokter Rama selama itu menyimpan perasaannya padaku?

"Ya. Memang selama itu saya menjadi pengecut." Katanya seolah bisa membaca isi kepalaku. "Saya memilih menyimpan perasaan saya dan membiarkan orang lain merebut perhatian kamu dari saya."

Aku tahu siapa yang dia maksud. Yudha. Tapi, andai saja dia juga tahu bahwa Yudha pun sejak awal tidak pernah merebut perhatianku seluruhnya. Ups!

Yah memang begitu kenyataannya. Sejak Yudha gencar mendekatiku, aku memang tidak pernah menganggapnya lebih dari sekedar sahabat. Waktu dia menyatakan perasaannya juga tidak ada segala sensasi kupu-kupu beterbangan diperutku. Tapi, harus kuakui saat dia mengajakku kerumahnya dan bertemu keluarganya, aku memang sempat luluh dengan keseriusannya. Sayangnya, lagi-lagi semesta memang tidak menjodohkan kami. Saat tahu mamanya tidak menyukaiku aku merasa biasa saja. Yah mungkin sejak awal hatiku sendiri tahu dimana tempat ternyamannya untuk pulang dan bersandar.

"Tapi sekarang, saya tidak akan membiarkan siapapun merebut kamu lagi." Tekadnya tiba-tiba. Kembali digenggamnya lembut jemari tanganku. "Ashabila... Kamu mau kan memberi saya kesempatan kedua?"

Aku memang belum percaya sepenuhnya, tapi aku juga tidak ingin kehilangan lelaki didepanku ini. Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri, bahwa aku pun juga menyimpan rasa padanya. Tapi, aku masih butuh waktu. Aku ingin hatiku siap sepenuhnya. Karena aku juga takut, dia menjadi orang yang kesekian kali meninggalkan luka dihatiku. Seperti sebelum-sebelumnya.

Akhirnya aku mengangguk mengiyakan pertanyaannya. Tanpa terasa setitik cairan bening lolos dari mataku seiring senyum yang berkembang di bibirnya. Dalam sekejap tubuhku direngkuhnya dalam pelukan. Detak jantung miliknya berkolaborasi dengan milikku, menciptakan irama yang terdengar menyenangkan.

Ya Tuhan. Jika ini mimpi, tolong jangan bangunkan aku.

***

Kami sampai di Bandara Juanda pukul sembilan kurang. Dokter Rama mengambil alih koper dari tanganku sementara tangannya yang lain menggenggam jemariku. Setelah kesepakatan kami di pesawat tadi, aku merasa dia menjadi lelaki yang lebih posesif. Seperti sekarang, saat kami berada didalam taksi, dia terus-terusan menanyakan keadaanku.

Sedikit banyak dokter Rama memang tahu bagaimana cerita tentang keluargaku, dan juga hubunganku dengan papa. Semuanya dia dapat dari Kinar dan juga Bagas. Sahabat yang diam-diam mengkhianatiku dan menusukku dari belakang. Awas saja, besok kalau ketemu akan kutraktir mereka makan-makan. Karena mereka berdua lah yang akhirnya membuat aku dan juga dokter Rama baikan.

Kalau boleh jujur, sebenarnya aku tidak dalam keadaan baik-baik saja. Sepanjang perjalanan, segala sudut kota Surabaya yang kulewati seolah membuka kembali kenangan-kenangan Indah semasa aku kecil. Betapa dulu Papa dan Mama setiap minggu akan mengajakku liburan. Entah itu piknik, tamasya, atau bahkan sekedar jalan-jalan. Aku yang tertawa bahagia, Papa dan Mama yang saling bertatapan mesra penuh Cinta. Semua peristiwa itu kembali berputar dikepalaku seperti film.

"Bi, ini bener rumahnya?"

Suara dokter Rama membuyarkan lamunanku. Aku buru-buru turun dari taksi sementara dokter Rama menyelesaikan urusan bayar membayar.

Pandanganku terpaku pada dua rumah yang bersebelahan di depanku. Rumah bercat hijau muda itu tidak banyak berubah. Masih rindang dan asri. Pohon rambutan yang dulu suka kupanjant bersama Bang Jefri kini sudah tumbuh tinggi.

Sedangkan, rumah bercat biru pudar yang ada disebelahnya terlihat jauh sangat berbeda. Rumah itu tampak tidak terurus. Taman bunga milik mama yang dulu selalu disirami setiap hari kini ditumbuhi rumput-rumput liar yang menjulur tinggi. Beberapa cat di dindingnya pun sudah banyak yang mengelupas. Dulu, kursi rotan yang ada didepan itu adalah tempat favorit papa. Setiap pagi papa akan membaca koran sambil meminum kopi disana. Tapi sekarang, kursi itu sudah terlihat rusak dan rapuh. Aku menghela napas panjang. Apalagi memang yang kuharapkan. Semuanya memang sudah banyak berubah kan?

"Bila?"

Suara itu menyedot perhatianku. Aku menoleh ke sumber suara, dan mendapati perempuan paruh baya yang wajahnya sangat mirip mama berlari ke arahku, lalu kemudian memelukku erat.

"Budhe..." Ucapku bergetar. Lagi-lagi aku menangis. Kali ini tangisku bahkan lebih kencang setelah Budhe menceritakan semuanya padaku. Aku merasa sangat sedih dan menyesal bersamaan. Aku sadar, selama ini aku telah dibutakan oleh rasa benci dan dendam yang mengakar dalam. Aku berharap semoga aku diberi kesempatan kedua oleh Tuhan. Semoga aku tidak terlambat memperbaiki semua keadaan yang terlajur hancur berantakan.

***

Hey, Bi! #Wattys2018Where stories live. Discover now