TWENTY

16.4K 1.5K 19
                                    

Tiga hari berlalu sejak dokter Rama mengirimkan pesan itu padaku, dan lelaki itu dengan kurang ajarnya terus berlalu lalang di kepalaku. Seharusnya dia pulang hari ini. Kata Bagas, dokter Rama sampai Jakarta sekitaran pukul sepuluh, tapi aku belum melihat batang hidungnya sejak sepagian tadi.

Jujur saja aku memang sedikit rindu pada keberadaannya disekitarku. Biasanya dia selalu datang tiba-tiba disaat aku sedang butuh sesuatu. Entahlah, kadang dia itu seperti sosok 'pahlawan' bagiku. Yang selalu ada ketika aku perlu pertolongan.

"Ya elah, nih bocah ngelamun mulu. Lo tenang aja kali Cha, dokter Rama pasti pulang kok. Percaya sama gue." Suara bawel khas Kinar menyadarkanku. Seolah dia tahu apa yang ada dipikiranku sejak tadi.

Aku menatapnya malas. "Ogah percaya sama lo. Musyrik ntar gue."

Dia melotot, tidak terima. "Sembarangan. Lo kata gue setan. Udah ah, lo mau makan apaan ini? Gue udah laper banget." Katanya sambil mengusap-usap perutnya yang rata itu.

Aku berpikir sejenak, sebenarnya aku sedang malas makan. Nafsu makanku seolah menguap entah kemana. "Emm, lo mau beli apa?" Tanyaku balik.

"Gue sih lagi pengen makan batagor." Katanya sambil nyengir lebar. Mupeng banget tuh bocah.

"Ya udah, samain kayak lo aja deh." Ucapku pada akhirnya.

"Oke. Titip handphone gue ya."

Aku mengangguk, menatap Kinar yang berjalan semangat ke arah penjual batagor. Sebenarnya kantin rumah sakit ini cukup luas, makanan yang dijual pun juga beraneka ragam. Hampir semua ada. Tapi terkadang ada beberapa orang yang mungkin bosan dengan menu makanan yang itu-itu aja, makanya mereka lebih memilih makan diluar dan beralih ke beberapa restoran cepat saji yang berjejer di kawasan depan rumah sakit.

Aku duduk sambil menopang dagu, mengamati sibuknya area kantin yang dipenuhi orang-orang beraneka ragam. Mulai dari staff dokter, perawat, bidan, apoteker, rekam medik, bahkan sampai keluarga pasien pun tumpah ruah di area seluas lapangan parkir ini. Mataku memandang berkeliling dan pikiranku berkelana kemana-mana.

Sekelebat bayangan tentang mama terlintas di benakku. Mama tampak cantik dengan gaun putihnya yang menjuntai panjang hingga ke lantai. Senyum penuh kerinduan tersungging di bibir pucatnya. Air mataku merebak tiba-tiba. Betapa aku juga sangat merindukan sosok mama. Ingin aku berlari kearahnya, mendekap tubuhnya erat. Menghirup aroma yang lembut menenangkan khas mama.

Lalu sedetik kemudian bayangan itu hilang, berganti wajah papa. Papa yang terlihat berbeda dari terakhir kali aku bertemu dengannya. Badannya kurus dan wajah yang dulu tampak tegas dan berwibawa kini terlihat renta. Papa tersenyum padaku, melambaikan tangannya agar mendekat padanya.

Nggak. Aku nggak mau lagi ketemu Papa. Papa sudah jahat terhadap mama. Papa yang menyebabkan mama pergi untuk selamanya. Aku menggelangkan kepalaku kuat-kuat. Berusaha menghilangkan bayangan papa. Sampai sebuah guncangan keras dibahu menyadarkanku.

"Acha, woy Cha. Sadar neng, nyebut."

Aku mengerjap kaget, sudah ada Kinar berdiri didepanku. Dia meletakkan dua piring batagor dimeja, lalu menatapku bingung. "Lo kenapa dah?"

"Gu-gue liat almarhumah nyokap gue, Kin." Ucapku lirih. Bayangan wajah mama yang tersenyum padaku masih terasa begitu jelas dan nyata.

"Ha? Dimana?" Kinar celingak-celinguk, menatap sekeliling mencari sosok mama.

"Tadi didepan sana, bokap gue juga ada." Ucapku menunjuk lurus ke satu arah di depan. Kinar mengikuti arah pandangku, lalu terdengar dia menghela napas panjang.

"Lo lagi kangen aja kali Cha sama mereka. Kapan terakhir kali lo ke makam nyokap?"

"Dua hari yang lalu. Sehari setelah gue sidang."

Hey, Bi! #Wattys2018Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang