THIRTY SEVEN

15.9K 1.3K 0
                                    

"Udah semua, kan? Nggak ada yang ketinggalan?"

Aku menggeleng pelan, menjawab pertanyaan lelaki yang tengah memasukkan koper dan barang-barang kami ke bagasi. Dia tersenyum, membukakan pintu lalu menyuruhku masuk kedalam. Diusapnya puncak kepalaku sekilas sebelum akhirnya menyuruh sopir taksi didepan kami untuk melajukan mobilnya menuju Bandara Juanda.

Hari ini, tepat tujuh hari setelah kepergian papa, akhirnya aku kembali ke Jakarta. Meski berat, mau tidak mau aku memang harus kembali. Ada tanggungjawab yang kutinggalkan disana. Selain itu, aku juga sudah ijin cukup lama. Apalagi dua hari lagi aku juga akan diwisuda. Sedangkan aku belum punya persiapan apa-apa.

Aku menghela napas panjang. Ingatanku berputar pada malam itu. Ketika aku membaca surat terakhir papa sampai menangis bahkan pingsan, keesokan harinya entah bagaimana aku malah merasa lega. Seolah beban berat yang selama ini menghantuiku, seketika lenyap begitu saja. Papa memang pernah melakukan kesalahan, begitu juga aku. Tapi aku sadar, untuk melepaskan semua beban itu, aku hanya butuh membuka mata dan haitku untuk bisa memaafkan dan mengikhlaskan. Waktu memang tidak bisa diputar ulang, tapi setidaknya kita masih bisa menata kembali segala yang akan terjadi dimasa depan. Agar tidak lagi, kesalahan-kesalahan yang sama kembali dilakukan.

Satu hal yang juga aku sadari, meski terlambat, adalah kenyataan bahwa papa ternyata selalu menyayangiku. Papa juga bilang, bahwa aku juga harus tetap hidup bahagia. Aku menghela napas panjang. Sekarang semuanya terasa sangat melegakan. Tidak ada lagi kesalah pahaman, tidak ada lagi dendam dan kebencian. Semua luka yang menganga, perlahan menutup dengan sendirinya. Dan semoga papa serta mama selalu bahagia disurga.

Empat puluh menit kemudian, taksi yang kami naiki berhenti tepat di depan lobby bandara Juanda. Dokter Rama tampak sibuk mengeluarkan barang-barang dari bagasi dibantu si driver taksi. Sedang aku sibuk memandang sekeliling. Mataku memindai lalu lalang sibuknya orang-orang.

Katanya, bandara adalah salah satu tempat yang menjadi saksi banyaknya air mata yang tumpah. Entah karena sebuah pertemuan maupun perpisahan. Tempat dimana ucapan selamat datang dan selamat tinggal terucap bersamaan. Tempat dimana bertemunya kerinduan dan tangisan terasa melegakan sekaligus menyakitkan.

Di ujung sebelah kanan, berdekatan dengan mesin penarik uang, tampak sebuah keluarga tengah berpelukan. Lelaki berperawakan gagah menatap istri dan juga anaknya yang masih balita dengan raut kesedihan yang kentara. Percakapan terjadi entah apa. Sampai pada akhirnya, lelaki itu menarik koper menjauh sembari melambaikan tangan pada istrinya yang tengah terisak dengan bahu berguncang. Lagi-lagi, tentang sebuah perpisahan.

Disisi lain, di ujung yang berlawanan, keadaan sangat bertolak belakang. Seorang remaja perempuan tampak gelisah, matanya mencari-cari sosok yang ditunggunya dibalik kerumunan orang-orang yang baru saja mendarat dari ketinggian.  Perempuan berkuncir kuda itu tampak begitu bersemangat. Sampai tiba-tiba dia melompat kegirangan, dia berlari tanpa sadar hingga menabrak beberapa orang. Tapi sepertinya dia tidak peduli. Dia merentangkan tangannya lebar-lebar, lalu detik berikutnya dia menerjang tubuh lelaki tinggi kurus yang juga kini membalas pelukannya erat. Mengangkat tubuh perempuan itu tinggi-tinggi sambil memutar-mutar tubuhnya. Tidak peduli dengan pandangan orang-orang sekitar. Yang jelas mereka terlihat sangat bahagia. Kali ini, tentang sebuah pertemuan.

"Hei...kok ngelamun?"

Aku tersentak dari lamunanku, buru-buru kuhapus air mata yang tidak sadar menetes dengan sendirinya. Lelaki di sampingku menatap khawatir, tangannya melingkar dibahuku, sedang tangan yang lainnya membantu mengusap jejak air mata dipipiku.

"Kenapa?" Tanyanya khawatir. Ditariknya tubuhku ke pinggir, menghindari orang-orang yang lalu lalang.

"Nggak tahu. Sedih aja." Jawabku sambil mengusap ingus dengan tisu. Dia tertawa, sambil mengacak pelan rambutku.

"Sedih karena ninggalin Surabaya?"

Aku mengangguk. Ya. Mungkin juga itu salah satunya. Sebenarnya aku ingin lebih lama disini. Bernostalgia, mengenang semua kenangan tentang aku dan masa kecilku.

"Kapan-kapan kita kesini lagi. Masih deket ini kan, nggak sampai satu jam juga udah nyampe." Katanya, menghiburku.

Aku mengangguk, membenarkan ucapannya. "Bu Merlin nggak apa-apa dokter sering ijin?" Tanyaku mengalihkan topik pembicaraan. Sejujurnya aku juga penasaran tentang hal ini sejak kemarin.

Pasalnya dokter Rama sudah tiga kali ini bolak-balik Jakarta-Surabaya. Yang pertama waktu dia mengantarku kesini, yang kedua waktu dia melayat bersama Bagas dan Kinar, dan yang terakhir sekarang ini. Dia memaksa ingin menjemputku, padahal aku juga tidak masalah kalau memang harus balik sendiri. Katanya dia khawatir, dan mendengar alasannya itu entah kenapa ada suatu gelenyar aneh yang mendadak kurasakan.

Sebenarnya aku tahu persis apa yang aku rasakan. Aku ingin mengatakannya pada lelaki disampingku ini. Aku ingin jujur padanya. Tapi entah kenapa, masih ada sedikit ketakutan dan keraguan yang menghantuiku. Aku takut dikecewakan dan kehilangan untuk yang kesekian kali.

"Yah... sedikit rayuan maut dan sogokan cokelat favoritnya itu sih nggak masalah buat saya."

Aku mencibir. Memang kalau urusan rayu-merayu dan gombal-menggombal , lelaki ini juaranya. Bu Merlin ini adalah penggemar berat cokelat. Apalagi kalau dikasihnya cokelat noka, hmm jangan ditanya. Dijamin ijin pasti di acc.

"Lagipula saya tetap bertanggungjawab, Bi. Saya sudah minta Eza untuk menggantikan sementara. Toh, Eza sudah berpengalaman disana selama setahun sebelum saya."

Oh iya benar juga, aku baru ingat kalau dokter Eza kan masih saudara sepupu dengan lelaki ini.

Dia melirik arloji di pergelangan tangan kanannya, "Kita langsung masuk aja yuk. Setengah jam lagi pesawatnya berangkat."

Aku menganggukkan kepalaku. Membiarkan lelaki ini menggenggam erat jemariku, sedang tangan yang lainnya menarik koper kami. Yah, semua memang sudah diatur sedemikian rupa. Lagipula aku bersyukur dengam adanya lelaki ini disampingku. Aku pun sudah terbiasa dengan kehadirannya. Apalagi, dia adalah satu-satunya orang yang selalu ada disampingku dan menemaniku disaat-saat terpurukku beberapa hari kemarin. Dia seolah mengerti tanpa harus aku bercerita, dia memahami tanpa harus menghakimi. Dan aku sangat berterima Kasih padanya.

"Makasih ya dok." Ucapku tulus. Dia tertawa, diacaknya rambutku.

"Sama-sama." Katanya dengan senyuman lembut yang membuat jantungku kembali berdegup kencang. Lalu, tiba-tiba dia menghentikan langkah. "Tapi, boleh nggak saya minta satu permintaan sama kamu?"

"Apa?" Tanyaku penasaran, ikut menghentikan langkah.

"Jangan panggil saya 'dok' terus dong, Bi. Ganti panggil 'mas' aja gimana? Mas Rama. Coba bilang."

Dahiku mengerut bingung. Dulu dia juga pernah memintaku tidak memanggil 'dok' lagi. Cuma entah kenapa rasanya aneh aja. Sudah terbiasa memanggilnya 'dokter' atau 'dok'.

Aku berdehem. "Ehm, mm-mas, mas Rama?" Ucapku ragu.

"Nah, gitu lebih mesra. Coba diulang lagi."

"Mas Rama?" Aku menggaruk pelipisku canggung. "Kok aneh ya?"

Lelaki disampingku itu tertawa, menarik kepalaku kedadanya. "Nggak apa-apa belum terbiasa." Ucapnya menghibur.

"Tapi dok, eh maksudnya mas. Kalau dirumah sakit panggilnya tetep dokter aja ya. Kan nggak enak sama yang lain."

Lagi-lagi dia tertawa, dikecupnya Puncak kepalaku sekilas. "Terserah kamu aja, sayang."

Mendadak jantungku kembali berdegup kencang tidak karuan. Perlakuannya yang manis membuatku mau tidak mau akhirnya tersenyum. Senyum pertama kali yang bisa kuperlihatkan setelah semua kejadian kemarin. Entah kenapa, semuanya terasa melegakan sekarang. Perasaanku sedikit jadi lebih ringan. Diam-diam aku bertekad dalam hati. Aku harus siap memulai kehidupanku lagi setelah sampai di Jakarta nanti. Menjalaninya sebaik mungkin, agar aku tetap bisa hidup bahagia, seperti pesan terakhir Papa.

***

Hey, Bi! #Wattys2018Where stories live. Discover now