📓47 - Malu

5.3K 608 60
                                        

Mengenal mereka adalah anugerah yang pernah Tuhan berikan padaku.

. . .

Beberapa minggu berlalu, sejak Racha mengatakan bahwa dirinya akan pindah ke Skotlandia. Selama itu juga, kami makin dekat, ke mana-mana selalu bersama.

Walaupun terkadang, aku sering memisahkan diri. Entah kenapa aku jadi suka ke perpustakaan.

Saat ini aku sedang membuka aplikasi twitter, mencari hal-hal yang sedang hangat diperbincangkan hari ini. Kulirik di sebelahku, Arlan yang menemaniku sedari tadi sedang tidur di atas buku-buku. Seulas senyuman tercipta di bibirku.

Aku memotretnya diam-diam. Kemudian melihat hasil jepretanku di dalam lembaran buku.

Karena lengah, ponselku malah dirampas Arlan. Aku kaget dibuatnya.

"Kalau foto nggak usah diem-diem. Biar aku selfie aja."

Napasku tercekat. Ini namanya sih terciduk.

"Ayo foto bareng," titahnya mengagetkanku.

"Hah?"

"Foto bareng, sayang."

Aku menghembuskan napas panjang. Lagi-lagi dia memanggilku sayang. Padahal kami tidak ada hubungan apa-apa lagi. Takutnya nanti dikira kami balikan atau apalah.

Aku tidak mau mencari masalah lagi.

Kuperhatikan rahangnya yang keras serta lekuk wajahnya. Dia terlihat tampan sekaligus manis. Apalagi dia selalu mengerti akan diriku.

Aku bersyukur bisa bertemu dan mengenalnya.

Arlan, sang moodbooster.

. . .

Aku dan Arlan kembali bersama ke kelas ketika bel berbunyi.

"Hayo, kalian darimana?" Dino menatap kami curiga. Aku langsung duduk tanpa menjawab pertanyaannya.

Biarlah Arlan yang menjawab karena kalau aku yang menjawab, pasti akan dijadikan bahan ejekan.

"Dari luarlah, Bego!" Aku mendengar jawaban Arlan dari belakang.

Aku tidak ingin ikut campur dengan percakapan mereka. Spontan aku mengambil buku dari dalam tas.

"Darimana, Zel?" Elis bertanya sambil mengambil buku dari tasnya.

"Perpus."

"Sekarang lo suka ke perpus ya. Udah mirip Racha aja."

Kekehan pelan lolos dari bibirku. "Enak di sana. Sekali-kali kamu harus ke perpus."

"Gue udah ke sana dan bawaan gue pengin tidur mulu," sahutnya sambil membuka buku ketika guru kami sudah masuk ke dalam kelas.

"Hawanya enak buat tidur ya," bisikku pelan.

"Hooh."

Bel pulang berdering. Segera aku mengemas buku-buku dan memasukkannya dalam tas.

"Zelin!"

Racha kini berada di hadapanku.

"Iya?"

"Kayaknya hari ini kita nggak bisa pulang bareng deh," ucapnya dengan wajah muram.

"Iya nggak papa kok. Kamu ada urusan?"

"Mau nge-print banyak surat untuk undangan pensi. Nggak papa ya?"

Diary Of an Introvert (REPOST)✔Where stories live. Discover now