❝Hidup adalah pilihan. Jika engkau memilih senang maka kau akan senang. Jika engkau memilih susah maka engkaupun akan susah. Dan aku, aku memilih untuk bahagia.❞
. . .
SEJAK kejadian kemarin, aku tak lagi berniat mendekati cowok mana pun di SMA Trijaya. Aku tak mau hanya karena cowok, hidupku menjadi lebih berantakan.
Keesokan harinya, aku kembali masuk ke sekolah. Aku menguatkan hati untuk tidak mengingat peristiwa yang kemarin menimpaku.
"Zelin!" Racha mengagetkanku dari belakang.
"Ngagetin aja sih, Cha!"
Racha terkekeh. "Gimana eskul kemarin? Lancar?"
"Alhamdulillah, lancar kok."
"Woi!" Lagi-lagi aku dikejutkan. Beruntung aku tak punya riwayat penyakit jantung. Kalau tidak, mungkin aku bisa mati di tempat.
"Zelin! Kenapa kemarin nggak ikut padus?"
"Iya nih. Kita nungguin padahal. Eh, malah nggak datang." Elis yang datang bersama Revi ikut nimbrung.
"Kata Racha lo ikut PMR. Lo kenapa sih, Zel?"
"Nggak papa. Kemarin lagi nggak enak badan aja."
"Oh iya, kita ada undang lo ke grup. Acc ya!"
"Oke."
"Ya udah yuk, kita ke kelas lagi. Kembali belajar!"
Revi menggeleng melihat Racha yang tampak girang. "Baru kali ini gue lihat orang seneng banget pas belajar."
"Heran gue isi otaknya apaan. Angka semua kali ya," celetuk Elis yang ikut-ikutan menggelengkan kepalanya juga.
"Mungkin Racha cucunya Einstein," celetukku.
"Bisa jadi!" seru Elis tertawa.
"Pinter juga lo. Yuk ke kelas bareng," sahut Revi.
Seulas senyum tercetak di bibirku. Sejak berteman dengan mereka, mendadak aku mempunyai selera humor.
Jam pertama, aku begitu seriusmengamati guru menjelaskan. Namun terlalu fokus membuatku mengantuk. Bu Netti selaku guru Bahasa Indonesia menjelaskan kepada muridnya seperti membaca dongengsebelum tidur. Aku bersyukur bel berbunyi hingga aku tak perlu berpura-puraangguk kepala seakan mengerti dengan materinya. Setelah Bu Netti keluar, aku melemaskan kaki yang kesemutan.
. . .
Berpura-pura belajar sebenarnya bosan juga. Aku bukan kutu buku yang doyan belajar. Aku lebih suka membaca novel ketimbang buku pelajaran. Jam pelajaran pendidikan agama islam diisi dengan latihan karena Pak Syaiful tidak bisa hadir di kelas.
"Lo kenapa sih, Ar? Pendiem banget hari ini." Samar-samar kudengar Dino mengajak Arlan berbicara. Aku tak ingin menguping pembicaraan mereka.
"Lagi nggak mood."
"PMS lo?"
Oke, aku mulai tak fokus. Aku menguping pembicaraan mereka sambil berpura-pura membaca.
"Dinok, gue nggak mood. Jangan ajak ngomong."
"Aish!"
"Nok, kalau ada cewek yang lo suka terus baru aja deket eh cewek itu tiba-tiba ngejauhin lo, sikap lo gimana?"
Aku tersentak. Sebenarnya Arlan sedang membicarakan siapa? Masa iya, aku? Ah, tak mungkin. Aku menggelengkan kepala kuat-kuat. Aku tak seperti cewek-cewek lain yang perfeksionis. Dari segi badan saja aku pendek. Cantik juga standar. Otakku juga pas-pasan.
YOU ARE READING
Diary Of an Introvert (REPOST)✔
Teen FictionFollow @ranikastory on Instagram. Diary Series [1]: Ini aku dan kisahku yang selalu dianggap berbeda hanya karena diriku seorang introvert yang hidup dalam dunia ekstrovert. Aku membenci diri dan hidupku hingga satu per satu kejadian menyadarkanku a...
