📓39 - Merenung

5.7K 702 76
                                    

Semakin aku memikirkannya, semakin bayangannya memenuhi ruang kepalaku.

. . .

Aku terbangun tepat pada pukul dua. Sejak mendapatkan kabar dari Racha, aku tidak bisa tidur dengan nyenyak.

Kupegang kotak diari yang diselipkan di bawah kasur. Lalu kuambil diari terakhirku juga gelang pemberiannya sewaktu itu. Kupakaikan gelang itu susah payah ke pergelangan tangan kiri. Senyumku mengembang ketika gelang itu menghiasi tanganku.

Jujur sejak mendengar kabar itu, aku jadi khawatir padanya. Walaupun tidak sepatutnya aku mengkhawatirkan orang yang harusnya kukubur dalam-dalam dari hatiku.

Kugeser kotak itu ke tempat semula.

Kemudian aku membuka lembar demi lembar diari harianku. Lembar yang kugoreskan dengan tulisan sembari mengingat kenangan silam. Tidak terlalu banyak kenangan, tetapi sukses membekas dalam dada ini.

"Pao, ngapain?"

Aku terkaget, lalu segera menutup diari yang kubaca.

"Bunda?"

"Kebangun ya?" tanya Bunda mengulas senyuman.

Aku mengangguk cepat.

"Temankan Bunda sahur yuk."

Aku lebih mendongakkan kepalaku. "Bunda mau puasa?"

"Iya, puasa ganti. Hayuk!"

Akupun beranjak dari dudukku sambil menenteng diari. Bunda memanasi lauk semalam, kemudian barulah dia makan.

"Nggak puasa sekalian?"

"Besok-besok deh, Bun."

Bunda mengangguk pelan lalu mulai menyantap makanannya.

Aku memandang suapan demi suapan makanan yang masuk ke dalam mulut Bunda. Butiran bening tiba-tiba saja menyeruak. Betapa jahatnya diriku pernah mendiamkan bahkan mengatakan bahwa dia tidak menyayangiku.

Padahal Bunda sudah berjuang keras membesarkanku selama ini. Bahkan dia meninggalkanku di Jakarta karena tidak mau aku terkena bullying lagi.

Bunda, betapa mulianya hatimu. Apa aku sanggup membalas segala jasamu?

Bahkan aku selalu membenci ulang tahun Bunda. Semakin bertambah angka usianya, semakin hatiku merasa sesak. Ulang tahun menandakan waktunya hidup semakin kecil. Walaupun aku tahu, usia tidak menjamin seberapa lama manusia hidup. Buktinya ayahku, meninggal diusia yang masih bisa belia.

"Kita salat bareng ya."

Aku menghembuskan napas. Tak sangka sudah seberapa lama aku melamun sampai Bunda sudah menghabiskan makanannya. Aku mengangguk dan menghapus air mata yang keluar dari pelupuk mata.

Aku mengangguk lalu mengikuti Bunda ke belakang, mengambil air wudu dan melaksanakan salat subuh bersama.

. . .

Hari sudah berganti pagi. Barulah mataku kini berulah. Mengantuk dan ingin tidur. Tetapi Bunda pasti akan marah sekali kalau tidur pagi-pagi. Katanya nanti rezekinya dipatok ayam. Ada-ada saja.

Aku sudah memasak nasi goreng untuk sarapanku dan Kak Zara.

"Sekarang mau ngapain ya? Ah, main hape ajalah," ucapku bermonolog.

Tepat pada saat aku ingin memainkan ponsel, notifikasi LINE muncul di layar ponselku.

ANTI PEMES SQUAD (4)
Elisa Prasanti
zelin
zelin
zelin

Diary Of an Introvert (REPOST)✔Where stories live. Discover now