❝Seorang guru di cina berkata perjalanan 100 mil barulah setengah jalan ketika engkau berada di mil 90. Pada titik itu, ujian terberat berbaris untuk menghentikan langkahmu.❞
. . .
Mataku sembab, badanku juga terasa tidak enak. Namun kupaksakan diri untuk tetap ke sekolah mengingat hari ini ada beberapa mata pelajaran yang diulangankan.
"Lo kenapa?"
"Hah?" Aku menatap Racha bingung.
"Mata lo tuh, udah kayak abis ditumbuk."
"Nggak papa kok." Aku menunduk, menyembunyikan wajahku yang mungkin terlihat kacau di mata orang-orang.
Saat ini kami sedang berjalan di koridor, menuju kantin. Elis dan Revi sudah duluan ke sana.
Di kantin, saat aku memesan siomay, tanpa sengaja mataku menangkap Arlan yang sedang berbincang santai bersama teman-teman cowoknya. Di sebelahnya juga ada seorang cewek yang sedang memeluk lengannya. Siapa lagi kalau bukan Abel.
Dia tampak baik-baik saja sedangkan aku kebalikannya. Aku benci dengan fakta ini.
"Zelin, lo baik-baik aja, kan?"
Anggukan kecil kuberikan. Racha memberikan siomay yang tadi kupesan. Kuhembuskan napas walau tersendat-sendat. Sebenarnya badanku terasa lemas sekali. Hidungku juga terasa gatal.
"Ya udah, yuk ke kelas."
Revi menggenggam tanganku lalu langsung melepaskannya.
"Gila, tangan lo panas banget."
Seakan refleks, Elis langsung menempelkan punggung tangannya ke dahiku.
"Lo demam?"
Aku menatap mereka sayu dan tersenyum lemah. "Aku nggak papa kok. Cuman nggak enak badan aja."
"Ya udah, ayo buruan ke kelas. Entar pingsan lagi."
"Kok lo nggak bilang lagi sakit?" Raut wajah Racha terlihat sangat khawatir. Dia memeluk bahuku erat.
Sebelum pergi, kulirik ke arah Arlan lagi. Dia terlihat melihatku dengan tatapan datar. Kutolehkan kepalaku dan bergegas mengikuti teman-temanku.
. . .
Kuambil napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlaha setelah mengerjakan ulangan bertubi-tubi hari ini.
"Lo pulang sama gue aja ya." Racha menghampiriku ketika aku baru saja berdiri.
"Nggak usah. Aku naik bus aja."
Tanpa basa-basi aku langsung pergi meninggalkan mereka. Aku mendengar mereka berulang kali memanggil namaku. Namun langkahku terus berjalan menuju gerbang.
Kalau tetap di sana, mereka pasti akan memaksa untuk mengantarkanku. Aku hanya tidak mau merepotkan siapapun.
Menaiki bus, seperti biasa, aku duduk di pojokan. Mataku terasa mengantuk, sesekali terpejam. Kemudian aku mengusap mataku pelan. Takut-takut ketiduran dan nanti malah kebablasan.
Kupandang sebelah dan terkaget. Aku melihat Arlan tersenyum padaku. Aku menatapnya lama, seakan dirinya mempunyai adalah magnet. Kemudian aku membalas senyumnya. Lalu tak berapa lama kemudian bayang itu menghilang.
Aku menghembuskan napas kasar sembari terpejam. Ternyata itu hanya halusinasiku saja.
Kepalaku terasa berat saat turun dari bus. Aku menelepon Kak Zara untuk menjemput di halte. Kakiku sudah tidak sanggup untuk berjalan. Kepalaku terasa pusing dan tubuhku lemas.
YOU ARE READING
Diary Of an Introvert (REPOST)✔
Teen FictionFollow @ranikastory on Instagram. Diary Series [1]: Ini aku dan kisahku yang selalu dianggap berbeda hanya karena diriku seorang introvert yang hidup dalam dunia ekstrovert. Aku membenci diri dan hidupku hingga satu per satu kejadian menyadarkanku a...
