❝Tempat terburuk di dunia ini adalah ketika kita dikelilingi oleh orang-orang yang penuh dengan kebencian.❞
. . .
Entah kenapa hari libur rasanya singkat sekali, bahkan hampir tidak terasa. Belum apa-apa aku kembali di hadapkan dengan sekolah beserta pelajaran-pelajarannya. Rasanya seperti malas sekali untuk menginjakkan kaki ke sekolah. Selain upacara yang membosankan, tiada lagi hal yang bikin aku semangat untuk belajar di sini.
Saat upacara telah selesai, aku berjalan dengan langkah gontai di sepanjang koridor. Seluruh murid memandangku jijik Seakan-akan aku adalah makhluk yang paling hina di muka bumi. Langkahku terhenti ketika ada segerombolan cewek-cewek yang menghadang jalanku.
"Eh, Culun! Berani banget ya lo pacarin si Rifen!" Salah seorang cewek berkata dengan menaikkan nada suaranya.
Temannya yang berada di sebelah menatapku sinis. "Gue yang ngejar-ngejar dia dari awal masuk sekolah aja nggak digubris."
Satu temannya lagi memutar bola matanya jengah. "Lo pake pelet apa sih? Anak baru aja udah songong!"
Aku ingin berjalan lagi, tidak ingin menghiraukan mereka. Namun, semuanya sia-sia ketika aku mendengar suara familiar merasuk telingaku.
"Ada apaan ini, guys?"
Geng Galaxy mulai datang. Aku benar-benar membenci situasi ini.
"Lagi ngehadang si songong ini."
Abel memandangku sinis. "Dasar, Munafik! Jangan harap lo bisa deketin Arlan juga."
"Wah wah wah! Dia deketin Arlan juga, Bel?"
"Ya, gitu deh." Kulihat Abel membuang wajahnya.
"Eh, anak baru, lo nggak usah songong deh. Mentang-mentang bisa pacaran sama cowok terpopuler nomor satu di sekolah." Windi dengan perkataannya yang selalu menyakitkan hati.
"Udahlah, guys! Mending kita latihan dance. Nggak penting ngurusin yang beginian. Ya ... paling bentar lagi dia diputusin Rifen."
Abel memandangku dengan tatapan merendah seraya mengajak teman-temannya pergi. Aku dapat melihat dari ekor mataku kalau mereka menatapku seraya mengejek. Menghembuskan napas perlahan, kemudian aku kembali berjalan menuju kelas.
Sesampainya di kelas, aku pun tidak lepas dari keadaan ini. Baru melangkahkan kaki ke dalam kelas, Mirel dan Sari yang berpapasan denganku memandangku kesal.
"Heran dah sama anak zaman sekarang, sukanya main tikungan."
Sari menatapku jijik. "Nikung enak lagi, Mir. BERASA LAGI BALAPAN GITCHU."
"Dudududu kasihan banget sih Racha. Mana sekarang dia harusnya fokus dengan olimpiade fisika, eh malah pecah fokus cuman gara-gara teman baru yang lupa kulitnya."
"Kalau gue jadi Racha sih, udah gue labrak."
"Cukup!"
Arlan menghentak meja hingga membuat seluruh siswa terdiam. Aku terkejut bukan main dibuatnya. Kemudian, cowok itu berjalan dan berdiri tepat di depan kelas. Tatapannya terlihat menghujam seluruh teman sekelas. Aku hanya diam tak berkutik di belakangnya.
"Kelas ini dihuni sama orang-orang pintar. Terbaik dari kelas lainnya. Tapi isi otaknya nggak ada! Percuma kalian pintar tapi kelakuan kalian kayak setan."
Aku menahan napas ketika Arlan berkata begitu. Rasanya aku ingin menangis karena tahu masih ada yang membelaku di saat orang lain malah menghujamku.
YOU ARE READING
Diary Of an Introvert (REPOST)✔
Teen FictionFollow @ranikastory on Instagram. Diary Series [1]: Ini aku dan kisahku yang selalu dianggap berbeda hanya karena diriku seorang introvert yang hidup dalam dunia ekstrovert. Aku membenci diri dan hidupku hingga satu per satu kejadian menyadarkanku a...
