❝Cewek sanggup menyembunyikan perasaannya, tetapi tidak sanggup menyembunyikan rasa cemburu walaupun hanya sebentar.❞
. . .
Aku datang ke sekolah pagi-pagi sekali. Bukan karena apa-apa, aku hanya tidak mau terkena macet atau apalah. Lagipula menghirup udara pagi sangat baik bagi kesehatan tubuh. Aku tersenyum pada diriku sendiri, tanda penyemangat sembari melangkahkan kaki ke dalam sekolah. Suasana sekolah kini masih terlihat hening.
"Zelin?"
Refleks aku mendongak ke belakang ketika ada yang memanggil namaku.
"Rifen?" Dahiku mengerut saat melihatnya berjalan menghampiriku.
"Cepet banget datang ke sekolahnya."
"Iya, lagi pengin cepet aja," ujarku bingung. "Kamu ... sendiri?"
"Namanya juga ketos, suka diperhatiin. Jadi contoh teladan siswa-siswi yang lain. Apa jadinya kalau gue telat datang?"
Aku mengangguk. Benar juga, Rifen kan populer seantero sekolah.
"Tapi yang terpenting, gue bisa ngehukum mereka karena mereka nggak tahu kelemahan gue." Cowok itu lalu tersenyum. "Temenin gue yuk!"
"Hah? Ke mana?"
"Ikut aja." Belum sempat aku menjawab, Rifen langsung memegang tanganku dan membawaku entah ke mana. Ternyata Rifen membawa ke ruang OSIS.
"Temenin gue di sini ya. Nggak enak sendirian."
Aku hanya diam saja, mengikuti lalu duduk di sampingnya. Kulihat Rifen sedang sibuk melihat desain-desain baliho. Ketika kufokuskan mata minusku, aku terkejut menatap layar komputer tersebut. "Sekolah ini mau pensi?"
"Tahun depan sih. Tapi udah harus cari-cari dana dulu, kan?" jawabnya dengan melempar pertanyaan lagi padaku. "Lo bisa nyanyi, kan?" tanyanya lagi.
"Nggak tahu," jawabku tertawa kecil. Jawabanku sepertinya membuat Rifen bingung.
"Lah kok nggak tahu? Tapi lo ikut padus, kan?"
Aku mengernyit. "Kok tahu?"
"Ya gue kan ketos, pasti tahulah." Rifen mengendikkan bahunya seolah berkata bahwa dia tahu segalanya.
"Oh gitu," jawabku sekenanya.
Rifen ingin berkata, tetapi sepertinya tidak jadi. Cowok itu malah terfokus pada gelang yang melingkar di tangan kiriku. "Itu gelang lo?"
"Hah? Iya."
"Beli di mana?" tanyanya seperti menginterogasi.
"Dikasih," jawabku singkat.
"Sama cowok lo?"
Buru-buru aku menjawab, "Nggak kok. Aku nggak punya cowok."
"Bagus deh."
"Kamu bilang apa tadi?"
"Ya bagus gelangnya, Zelin." Dia memperjelas ucapannya hingga baru masuk ke dalam pikiranku.
Aku benar-benar tidak nyaman berduaan seperti ini. Baru saja aku ingin pamit ke kelas, Racha masuk ke dalam ruangan dan melihatku dengan tatapan tak terdefinisikan.
"Hai, Cha!" seruku menyapa kikuk.
Racha tidak menyapaku balik. Malahan dia melenggang berjalan melewatiku dan meletakkan kertas-kertas di atas sebuah meja.
"Gue udah buat proposal pensi, gue letakin di sini."
"Oke. Thanks, Cha."
Racha mengernyit, memandang Rifen. Lalu tatapannya kembali padaku.
YOU ARE READING
Diary Of an Introvert (REPOST)✔
Teen FictionFollow @ranikastory on Instagram. Diary Series [1]: Ini aku dan kisahku yang selalu dianggap berbeda hanya karena diriku seorang introvert yang hidup dalam dunia ekstrovert. Aku membenci diri dan hidupku hingga satu per satu kejadian menyadarkanku a...
