📓Side Story #2

6.3K 706 37
                                        

Bila garis takdir bersamamu, mungkin saja kenangan akan dia terulang kembali.

. . .

Sebagai seorang anak pengusaha mihas yang mempunyai cabang di beberapa kota-kota besar Indonesia, jelas membuat Arlan tidak pernah kekurangan sesuatu apapun. Semua yang dirinya inginkan, selalu terpenuhi.

"Mama buat apa?"

Arlan mendekati sang mama yang sedang sibuk di dapur.

"Brownies sayang. Arlan mau?"

"Mau banget, Ma! Kue buatan mama selalu enak," sahutnya sambil memberikan dua jempol pada sang mama.

"Kamu bisa aja. Tunggu ya, bentar lagi brownies-nya jadi."

Arlan mengangguk cepat.

"Anak pinter." Mama sedikit membelai kepala Arlan sebelum kembali melanjutkan aktivitasnya.

Tiba-tiba bel rumah berbunyi, membuat Arlan menjadi antusias.

"Papa pulang!"

Arlan langsung meninggalkan mama dan berlari ke arah papanya. Sang mama hanya menggeleng kepala melihat kelakuan anak satu-satunya.

Arlan memang senang sekali ketika papa kebangganya pulang. Dia memang sudah bercita-cita ingin menjadi pengusaha hebat seperti papa.

"Arlan, jangan halangin jalan papa. Papa lagi sibuk."

Arlan terkejut ketika sang papa malah membentaknya. Papanya hanya berjalan lalu melewati sang anak.

Arlan menatap papanya aneh, tak seperti biasa. Dia cepat sekali emosi dan gelisah bersamaan. Biasanya sang papa selalu tenang dan tidak pernah menampakkan wajah gelisah, selalu datar. Namun tidak dengan keluarganya, selalu mengulas senyuman.

Papa yang ditatapnya kini terlihat berbeda.

Tanpa sadar langkah kaki Arlan berjalan mengikuti papanya dari belakang. Sengaja lamban agar tidak menimbulkan bunyi yang membuat curiga. Papanya masuk ke dalam kamar. Beruntung kamar tersebut tidak dikunci Arlan memasang telinga lebar-lebar ketika papanya sedang menelepon seseorang.

"Jadi orang yang saya tabrak meninggal?"

"Anak kecil itu melihatku. Segera bunuh dia!"

"Bagus. Akan saya naikkan gaji kamu."

Kontan Arlan menutup mulutnya, tidak menyangka papa yang selalu dibanggakannya membunuh orang. Wajahnya berubah menjadi pias. Kecewa.

Perlahan tapi pasti Arlan pergi menjauh dari kamarnya. Lebih tepatnya dia menyeret kakinya untuk berjalan. Kakinya lemas sekali setelah mendengar percakapan papa.

Apa benar papa membunuh orang?

Arlan masih benar-benar tidak percaya dengan kenyataan yang didapatkannya. Kakinya terus berjalan menuju kamar.

"Arlan, kamu kenapa?"

"Nggak papa, Ma."

"Ini brownies-nya udah jadi sayang."

Arlan berlalu melewati sang mama. Brownies yang ditunggunya dari tadi terlewat begitu saja. Dirinya sudah tidak nafsu makan lagi.

Sesampainya di kamar, dia berjalan menuju balkon, mencari angin segar. Arlan masih bertanya-tanya dalam hati.

Siapakah orang yang ditabrak papanya?

. . .

Arlan membaca buku di ruang tamu sedangkan mamanya sibuk menyambut kedatangan papa.

Diary Of an Introvert (REPOST)✔Where stories live. Discover now