📓33 - Kepergian

Start from the beginning
                                        

"Iya," jawabku sabar alias menahan emosi.

"Kita kayak gini karena nggak mau lo nyesal nantinya."

"Aku nggak akan nyesal."

"Selain ke Jerman lusa, Arlan juga bakal tunangan. Lo harus ngeyakinin dia untuk milih lo."

Aku sedikit terkaget mendengar Arlan ingin tunangan. Namun ekspresi yang kutunjukkan tetap datar. Aku tak mau mereka tahu bahwa aku menyayanginya.

"Dia itu sayang banget sama lo, Zelin."

"Aku nggak mau ketemu dia lagi," ucapku dingin.

"Yakin?"

"Yakin." Kutekankan jawabanku dengan penekanan agar mereka tak lagi bertanya.

Beruntung mereka sudah terdiam dan tak bertanya-tanya lagi.

"Ya udah yuk keluar. Gue udah greget pengin jalan-jalan."

Aku mengangguk entah pada siapa lalu mengikuti mereka dari belakang. Berulang kali aku menghela napas. Sebuah mobil sedan sudah terparkir rapi di halaman rumah.

Elis mengendarai mobil hingga berhenti ke rolling stone cafe. Aku memutar bola mata jengah. Pasti mereka diam-diam mau melihat Bang Samsul lagi.

Namun prasangkaku salah besar. Yang kutemui di kafe ini adalah cowok yang kuhindari mati-matian selama beberapa minggu ini.

"Kalian ngejebak aku ke sini buat ketemu dia?"

Mulutku sedikit terbuka. Aku menatap mereka satu per satu tak percaya. Mereka hanya membalas dengan kekehan, membuatku kesal.

"Samperin gih," ujar Elis tanpa rasa bersalah sedikitpun.

Aku menggeleng kuat. "Udah aku bilang kan, aku nggak mau ketemu dia lagi."

Aku menatap mereka kecewa. Kemudian tanpa berkata-kata lagi, aku pergi meninggalkan mereka.

"Zelin, lo mau ke mana?"

"Aku mau ke toilet. Kalian pesan aja duluan, nanti aku nyusul."

Setelah berkata seperti itu, aku terus berjalan tanpa menoleh ke belakang lagi. Aku tak mengerti dengan diriku sendiri. Belakangan ini emosi cepat sekali menyulut. Aku tak bisa menahan seperti biasanya.

Ada apa denganku sebenarnya? Kenapa gara-gara satu cowok, aku menjadi sentimental begini?

Langkahku terhenti. Pembicaraan mereka tentang Arlan seolah terputar lagi dalam pikiranku.

"Arlan akan tunangan."

"Arlan akan ke Jerman."

Lama aku berpikir hingga memutuskan untuk kembali ke sana. Aku tidak menemui Arlan ataupun teman-temanku. Saat ini aku bersembunyi di balik pilar, memandang Arlan yang sedang menyesap minumannya perlahan sembari melihat arloji di tangannya. Dia tampak cool dengan topi yang selalu terpasang di atas kepalanya dan baju casual putih serta celana jeans yang dikenakannya.

Betapa aku merindukan cowok itu.

Mataku memicing ketika seorang cewek mendekatinya. Abel mendatangi dan duduk di hadapan Arlan. Napasku tertahan. Tak lama kemudian, mereka pergi dari meja itu.

Air mata menyeruak. Aku menyandarkan tubuh di balik pilar. Bahkan aku tak sanggup untuk mengucapan selamat tinggal kepadanya. Lagipula dalam lubuk hatiku, tak pernah terlintas dalam pikiranku untuk memutuskannya.

Aku sadar, kini aku menyesal. Bagaimanapun juga dia tidak salah apapun dalam kemalangan yang ku alami.

Kenapa penyesalan selalu datang di akhir?

Diary Of an Introvert (REPOST)✔Where stories live. Discover now