📓38 - Sebuah Kabar

Start from the beginning
                                    

Pandanganku masih lurus ke depan. Dari suara saja, aku sudah tahu bahwa suara itu milik Daffa. Tetapi ini masih pagi. Ngapain juga dia ke sini?

Aneh.

"Ya gitulah. Kesal."

"Loh, bisa kesal juga?"

Kudengar tawa hangat terasa di sebelahku.

"Ya bisalah!" Aku mulai kesal dan meliriknya.

"Ya udah cerita. Kesal kenapa?"

Tatapan kami tadi sangat dekat. Refleks aku memegang dadaku. Pandanganku kembali ke depan. Kejadian semalam kembali berputar bak kaset.

"Kak Zara! Semalam dia sembarangan buka-buka diari aku. Kan aku malu."

Aku menutup wajah dengan kedua tanganku, terisak. Pasti Kak Zara tahu bahwa aku pernah berpacaran.

Rasanya aku ingin menguburkan diriku ke dalam selimut.

"Loh, kok nangis?"

"Aku malu."

Kurasakan Daffa mengusap punggungku beberapa kali hingga aku menjadi sedikit tenang. Kalau bisa bercermin, kuyakin wajahku saat ini sudah memerah dengan air lier ke mana-mana.

Ah, aku jadi malu begini.

"Jangan nangis lagi. Oke?"

Aku mengangguk pelan, tidak menatapnya. Kepalaku tertunduk sedalam-dalamnya.

"Udah, nggak usah malu. Kalau orang nangis ya pasti jelek."

"Rese!"

Aku mendelik ke arahnya lalu tak lama tertawa kecil. Aku pergi meninggalkannya sembari berlari dan dia mengejar.

Jadilah kami malah berlari-larian dan saling mengejar di taman tersebut.

. . .

Aku pulang usai bermain kejar-kejaran tadi. Hatiku tidak enak saja melarikan diri seperti itu.

Bunda langsung membukakan pintu tepat sebelum aku memegang kenop pintu.

"Assalamualaikum," ucapku terkekeh saat melihat Bunda menatapku menggeleng. Aku menyalimi tangannya.

"Darimana aja? Pagi-pagi udah ngilang." Bunda terlihat khawatir, walau tetap dia sembunyikan kekhawatirannya.

"Olahraga, Bunda."

Aku terkekeh dalam hati. Alasan yang tepat.

"Ya udah. Makan yuk sekarang. Pasti belum makan, kan?"

Kepalaku terangguk. Semuanya kembali lagi seperti awal, walaupun aku masih merasa kesal dengan Kak Zara. Tetapi sudahlah. Semuanya sudah terjadi.

Walau bagaimanapun, merekalah yang selalu ada untukku selama ini.

Setelah makan, aku beres-beres rumah. Lalu mulai mengisi formulir pendaftaran sekolah baru di dekat rumah. Kebetulan SMA di dekat rumahku lumayan bagus walaupun bukan terfavorit ataupun terbaik.

Ponselku bergetar. Segera aku meninggalkan kerjaanku dan mengambil ponsel yang kugeletakkan begitu saja di lantai. Dahiku mengernyit ketika penelepon adalah temanku sewaktu di Jakarta, Racha.

Sedikit ragu, aku mulai mengangkatnya.

"Assalamualaikum, kenapa Cha?"

"Pao, papanya Arlan masuk penjara!"

Lidahku kelu. Mulutku sedikit menganga. Tanganku sudah bergetar saja.

"Lo harus cepet pulang ke Jakarta. Ceritanya panjang. Nanti gue ceritain."

Sambungan telepon sudah terputus. Namun genggaman ponsel masih setia bergetar di tanganku. Pikiranku langsung tertuju pada Arlan.

Aku langsung masuk ke dalam kamar. Yang kulakukan hanyalah mondar-mandir. Aku tidak peduli dengan Kak Zara yang sibuk berdandan entah mau ke mana.

"Kenapa, Dek?"

Langkahku berhenti. Atensiku beralih ke arah Kak Zara.

"Nggak papa."

Kemudian aku kembali mondar-mandir tak jelas.

"Masih marah sama kakak?"

"Nggak kok, Kak. Aku lagi mikir nih. Jangan ganggu."

Posisiku sekarang adalah salah satu tangan memeluk diriku dengan satu tangan di atas kepala dengan jari telunjuk yang mengetuk kepala beberapa kali.

"Perlu bantuan kakak?"

"Nggak usah. Lagian kakak nggak bisa bantuin."

"Ya udah. Kakak harap kamu bisa nyelesain masalah kamu sendiri."

Dahiku mengernyit. Langkahku kembali berhenti.

"Kakak mau ke mana?" tanyaku penasaran.

"Ketemuan sama temen. Kakak duluan ya."

Aku mengangguk pelan kemudian kembali mondar-mandir. Setelah itu, aku keluar dari kamar mencari Bunda.

Bunda sedang duduk di atas sofa sambil menghitung sesuatu. Perlahan, aku mendekatinya.

"Bunda."

Bunda langsung menghentikan aktivitasnya dan fokus kepadaku.

"Kenapa, Pao?"

Aku menghembuskan napas pelan-pelan sebelum bertanya.

"Bun?"

Bunda masih fokus memperhatikanku.

"Pao boleh ke Jakarta?"

Dahi Bunda langsung mengerut. "Hah, kamu mau ngapain di sana?"

Aku tidak menyangka reaksi Bunda seterkejut ini. Aku meneguk salivaku kasar.

"Pao nggak jadi sekolah di sini. Pao mau lanjutin sekolah di sana aja."

Kudengar helaan napas berat keluar dari indera penciumannya. "Pao, kamu jangan main-main! Waktu itu kamu sendiri yang minta pindah ke Jogja."

"Pao berubah pikiran, Bunda."

Aku berusaha untuk membujuk Bunda. Arlan benar-benar sukses membuatku seberani ini.

"Siapa yang membuat kamu berubah pikiran seperti ini?"

Mulutku terkunci. Tak disangka Bunda akan bertanya seperti itu. Aku memutar otak mencari sebuah alasan logis untuk diberikan kepada Bunda.

"Err ... Paokan belum ambil rapor semester, katanya rapor itu harus diambil sama pemiliknya."

Dahinya mengerut. "Kamu udah lupa Om kamu itu kepala sekolah di sana?"

Astaga. Bodoh. Bodoh. Bodoh. Alasan apa tadi yang kuucapkan pada Bunda? Pastilah raporku bisa diambil Om Willy dan nantinya akan dikirimkan melalui JNE atau apalah. Ya ampun Zelin, kenapa dirimu bego sekali?

"Pokoknya Bunda nggak izinin kamu ke Jakarta lagi. Lagian Kak Zara sudah mau selesai. Jangan main-main lagi."

Bunda tampak kesal sekali. Aku terdiam menatap kepergian Bunda. Tak pernah Bunda semarah ini padaku.

Sekarang aku harus bagaimana?

. . .

[A/N]

KOK AKU JADI SUKA SAMA ZELIN-DAFFA? ADA YANG SAMA KAYAK AKU? HAHAHAHA

SO, ZELIN-ARLAN OR ZELIN-DAFFA?

🙊🙊🙊🙊🙊

Diary Of an Introvert (REPOST)✔Where stories live. Discover now