📓35 - Menghadapi Kenyataan

Start from the beginning
                                        

"Ceritain dong tentang dia! Kamu suka dia, kan?"

"Nggak ah," jawabku kemudian mengambil bakpia yang ada di atas meja dan memakannya.

"Tapi aku ngerasa janggal sama tu nama." Dia menerawang, membuatku makin asyik mengunyah.

"Kenapa?" tanyaku penasaran.

"Namanya sama dengan nama saudaraku. Dia di Jakarta juga."

Aku merespon dengan ber-oh ria. Apakah Arlan yang dimaksud sama? Ah, tidak mungkin.

"Jadi, gimana dengan Arlan? Kamu udah tahu alasan sepupumu benci dengan cowok itu?"

Aku mengangguk.

"Kenapa?"

"Papanya yang nabrak ayahku dulu sampai meninggal."

Sienna menutup mulutnya. "Kok sepupumu itu bisa tahu? Aduh siapa sih namanya itu." Dia memegang kepalanya sesekali mengetuk. Mungkin berpikir tentang nama sepupuku.

"Jefri. Aku juga nggak tahu kenapa Bang Jef bisa tahu soal itu."

Wajahnya terlihat berbinar. "Oalah. Cenayang kali!" celetuknya.

"Kemarin aku ketemu Daffa."

Aku merenung, teringat dengan kejadian tadi malam.

"Demi apa?"

Aku tak menyahuti Sienna karena sibuk berpikir saat Daffa mengatakan rindu kepadaku.

"Aku saranin jangan deketin Daffa deh. Entar si nenek lampir itu ngamuk lagi."

Atensiku kembali pada Sienna yang tampak kesal. Sebuah tawa keluar dari bibirku. Nenek lampir yang dimaksud Sienna adalah Monic.

"Emang aku pernah dekat dengan Daffa?" tanyaku retoris.

Sienna tidak memperdulikan pertanyaanku. "Sejak kamu nggak ada, dia deketin Daffa mulu. Kayaknya alasan dia nge-bully kamu karena dia suka Daffa deh."

Keningku bertautan. "Kamu serius?"

"Menurutku gitu sih."

Aku kembali berpikir. Apa dulu Daffa selalu berusaha dekat denganku bukan karena ingin ikut mem-bully melainkan suka kepadaku?

Tetapi, kenapa dia suka pada gadis dekil sepertiku? Jelas itu hal mustahil.

"Hai."

Aku mengerjakan mata lalu mendongak ke arah orang yang  menyapa. Mataku melotot ketika melihat cowok itu.

"Can i join with you, guys?"

Aku mengangguk pertanda iya. Kemudian dia langsung ikut menimbrung bersama kami.

"So, gimana Jakarta?"

"Gimana apanya?" tanyaku bingung.

"Ya menurut kamu Jakarta gimana? Bagus nggak?"

Dilihat-lihat cowok itu makin terlihat manis. Memang tidak setampan Arlan, tetapi senyumnya selalu bikin hati menjadi tenang.

"Bagus," jawabku agak lama.

"Guys, aku ke toilet bentar ya." Pandanganku kini beralih ke Sienna.

"Aku temenin ya," sahutku cepat.

"Nggak usah, di sini aja." Setelah itu, Sienna langsung melesat ke arah toilet.

Aku menghela napas berat. Kenapa di saat seperti ini Sienna harus ke toilet?

Dia tersenyum hangat. Lalu pandanganku beralih ke ponsel yang kelihatan senyap-senyap saja. Di saat-saat seperti ini saja, tidak ada chat yang membuatku tidak bisa bermain ponsel.

"Walaupun berubah kayak gini, kamu tetep aja Zelin yang polos."

Dia mengelus rambutku beberapa kali, membuatku malu saja. Aku sedikit mendongak lalu menunduk sembari memainkan jari kuku.

Keheningan cukup lama terjadi. Aku merutuk sendiri. Kenapa aku jadi kikuk begini sih?

"Cepet banget, Na." Daffa langsung bercelatuk ketika Sienna baru saja kembali nimbrung.

"Maunya kamu tuh lama-lama, kan?" tanyanya kesal.

Daffa terkekeh sedangkan aku menelan salivaku.

"Kok minumannya dianggurin aja?" tanya Daffa lagi.

"Karena nggak diapelin," celetukku.

"Kode?"

Aku terbatuk. Refleks kututup mulutku.

"Nggak." Segera aku menyesap minumanku, menyembunyikan rasa canggung.

"Duh gatal."

Kulihat Sienna menepuk-nepuk lengan tangannya.

"Kenapa, Na?"

"Banyak nyamuk."

"Nyamuk?" Aku berkerut bingung.

"Eh eh lihat deh itu, kalian kalau berdua terus bisa lesbi loh."

Aku melirik ke arah Daffa memandang. Dua orang cewek sedang bermesraan tak lazim di tengah ruangan. Aku merinding geli.

"Jadi kalau kamu ke mana-mana ajak aku aja."

Dia mengedipkan sebelah mata. Aku mengernyit sembari memasang wajah tidak enak.

"Aku ada urusan, nanti kita ngobrol lagi ya."

"Ya udah pergi aja sana," cetus Sienna terdengar sebal.

"See you, guys!"

Kemudian dia menjentikkan jari dan menunjuk ke arahku.

"Panjang umur banget sih tu orang. Diomongin langsung datang," ujar Sienna sambil memakan bakpia. "Mana sok deket gitu sama kamu."

Aku bingung dengan Sienna yang terlihat tidak menyukai Daffa. Padahal dulu biasa saja.

Aku malah jadi berpikir. Apa benar Daffa suka padaku?

"Fau?"

Aku menoleh ke arah sumber suara ketika ada yang memanggilku. Kali ini mataku bukan melotot melainkan ingin keluar dari tempatnya. Aku dan Sienna saling melirik satu sama lain.

"Zelin Fauziyah, kan?" tanyanya meyakinkan. Mungkin karena aku tidak memakai kacamata lagi, alhasil dia seperti ragu mengenaliku.

"Kalau orang nanya dijawab!"

Astaga, suaranya melengking, membuat jantungku berdegup kencang.

"I-iya," jawabku terbata-bata.

"Akhirnya...." Dia menyunggingkan senyum sarkastik padaku. Tubuhku sudah gemetar. Beruntung Sienna menggenggam kuat tanganku.

Tamatlah riwayatku!

Diary Of an Introvert (REPOST)✔Where stories live. Discover now