📓35 - Menghadapi Kenyataan

Mulai dari awal
                                        

"Waalaikumsalam. Darimana, Pao?" Bunda langsung menginterogasiku.

"Tadi main bentar ke taman sebelah rumah, Bun."

Bunda tersenyum kecil, kemudian memberi izin untukku masuk.

"Oh iya, Mbah Putri mau ketemu kamu."

Aku memberhentikan langkah ke kamar, tercengang. Hubunganku dengan saudaraku tidak ada yang rapat, termasuk dengan mbahku sendiri. Beliau adalah orang tua ayah.

Entahlah. Hanya susah untuk bersosialisasi semenjak ayah tiada.

"Pao nggak mau, Bun."

"Pao!" Bunda menaikkan nada suaranya, membuatku terkesiap.

"Iya-iya. Lusa deh, Bun. Besok Pao mau ketemu Nana."

Lama tak bersuara sampai Bunda berkata,  "Okelah."

Bunda mengunci pintu lalu langsung berjalan menuju ruang belakang alias dapur. Aku yakin Bunda merasa bersalah karena anak-anaknya jarang menemui Mbah Putri. Aku jadi ikut-ikutan merasa bersalah.

Kupandangi langit malam. Walau dia jauh dari pandanganku, tetapi aku yakin dia masih menghadap langit yang sama.

Aku berharap kamu bahagia walau tanpa ... aku.

. . .

Aku bersiap-siap menemui Sienna sekaligus melihat sekeliling serta melewati jalanan kota Jogjakarta.

Rasanya sudah lama sekali aku tidak ke kota ini. Kota kelahiranku dan heroku, ayah.

Kini aku sedang dalam perjalanan menuju SUA Coffe. Mengamati jalanan, melihat motor dan mobil saling melaju. Lalu kuamati satu per satu bangunan yang terlewat. Melihat orang-orang saling berinteraksi. Hatiku terasa adem. Betapa rindunya aku dengan kota ini.

"Paooooooo!!!"

Sienna berteriak histeris ketika aku baru menjajaki kaki di kafe tersebut. Dia menghampiri lalu memelukku erat. Semua pengunjung kini menatap kami heran.

"Ya Tuhan! Kapan lo ke sini? Aaaaa rindu bangetttt!!!"

"Aku juga!"

Aku melihat meja yang biasa kami duduki sudah penuh dengan bakpia dan latte. Kemudian aku duduk manis di hadapan Sienna.

"Wih udah dipesan."

"Iya dong, aku tahu kamu kalau mesan pasti lama!"

"Yah, maaf deh. Lagian aku bingung kalau dikasih banyak pilihan."

Sienna mencebik. "Dasar! Kalau banyak cowok yang deketin, kamu bingung dong mau pilih yang mana?"

Dahiku mengerut ke dalam. "Kok jadi melenceng ke cowok sih?"

Sienna hanya terkekeh. Kemudian menyesap minumannya.

"Tahu nggak, si Monic tiap hari nanya terus soal kamu. Kalau tahu kamu berubah kayak gini, mampus tu dia."

Bibirku memberengut. Mendengar nama Monic saja sudah berhasil membuat mood-ku hancur.

"Maaf deh."

Sienna pasti tahu kalau mood-ku berubah. Mungkin karena wajahku berubah menjadi pias.

"Iya nggak papa," lirihku.

"Oh iya, waktu itu kamu bilang ketemu cowok yang namanya Arlan."

Sienna kelihatan mengalihkan pembicaraan. Aku mengangguk dan pikiranku kembali pada bayang-bayang Arlan.

Diary Of an Introvert (REPOST)✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang