📓28 - Melepaskan

7.1K 764 72
                                    

Untuk memperbaiki suasana, lebih baik aku menurut saja.

Karena bosan duduk terus-terusan, aku berjalan-jalan di tengah lapangan sembari merentangkan tangan lalu memiringkannya ke kanan-kiri seperti sedang membawa motor. Kalau orang melihatku, mungkin mereka mengira aku sedang tidak waras.

"Zelin Fauziyah!"

Aku terdiam, membeku dan bungkam saat suara yang terdengar familiar memanggil namaku.

Otakku ingin berlari. Namun hatiku seakan menahanku untuk tidak berlari. Hingga cowok itu berada tepat di hadapanku.

"Aku mau ngomong sama kamu."

Untuk beberapa saat, bibirku mengatup rapat. Setelah mengambil napas berulang kali, barulah aku menjawab.

"Ngomong aja," jawabku pelan, namun sepertinya masih terdengar olehnya.

"Kamu nggak serius ngomong putus, kan?"

"Aku serius," sahutku cepat, membuatnya terdiam.

"Aku tahu alasan kamu berubah."

Aku tersentak, lalu menunduk, tak sanggup melihat wajahnya. "Baguslah kalau kamu tahu."

Arlan mencengkram bahuku, cukup kuat. Sampai dadaku jadi terikut sesak. Aku mengangkat kepalaku sedikit. Jarak kami berdekatan—hanya beberapa senti. Sejenak sebelum kepalaku kembali tertunduk.

"Tatap aku."

Aku tersentak, namun tetap menunduk, tak punya keberanian menatapnya.

Namun tiba-tiba Arlan menaikkan daguku dengan tangannya. Kedua mata kami beradu. Jantungku tak bisa diatur lagi. Detakannya sangat cepat dan mungkin sudah berada di ambang batas stabil.

"Kenapa kamu menghindar?"

Napasku tertahan. Untuk mengeluarkan suara saja susah dengan suasana yang sedekat ini.

"Sudah beberapa hari ini aku memikirkan alasan kamu menjauhiku. Aku bahkan bertanya-tanya tentang kesalahanku."

Jeda sejenak sebelum dia kembali membuka mulut.

"Apa karena aku adalah anak pembunuh?"

Tenggorokanku tercekat. Ternyata Arlan tahu yang sebenarnya terjadi. Deru napasku dan Arlan saling kejar-mengejar. Ketegangan berpendar di udara, begitu mencekam di sekeliling kami.

"Kamu percaya takdir?" tanyanya tiba-tiba.

Aku bergeming, tidak menjawab pertanyaannya.

"Aku percaya. Walau saat ini kamu dipaksa pergi dariku, aku percaya suatu saat nanti kamu pasti kembali."

Dia tertawa kecil, entah apa yang diketawakannya.

"Entah itu besok, seminggu, setahun, bahkan bertahun-tahun aku sanggup," lanjutnya.

Aku menatapnya sendu. Dia memang tertawa, namun ketika kutilik lagi dari matanya, aku dapat merasakan kesedihan yang tak pernah ditampakkannya.

"Sementara aku bukan rumah, aku hanya perlintasanmu."

Kemudian Arlan memelukku erat, seakan saat ini terakhir kalinya kami bertemu. Aku sendiri terkejut bukan main. Tubuhku mematung dan kakiku rasanya lunglai sekali. Kalau Arlan tidak memegangi pinggangku, mungkin saat ini aku sudah jatuh.

"Aku pernah bilang, kalau kamu udah tahu yang sebenarnya, aku rela melepasmu." Dia menghembuskan napas yang bisa kurasakan di telinga. Pelukannya padaku semakin erat. "Dengan ini, kamis tujuh desember dua ribu tujuh belas pukul lima tepat, Arlan resmi melepaskan Zelin."

Diary Of an Introvert (REPOST)✔Where stories live. Discover now