Takdir Cinta yang Menuntunmu Kembali Padaku

12K 581 48
                                    

Apakah cinta itu jahat? Kupikir. Sangat menakutkan dan mengerikan. Bahkan aku merasa gila sekarang. Karena setiap hari aku melihat wajah Virga di mana-mana. Virga ada di dalam gelas, di jendela, di pintu, di atap, dan yang paling parah di pelupuk mata.

Ibu terkejut begitu aku melemparkan obat-obatan yang harus kuminum. Hingga suster harus menggantikannya dengan obat baru yang ditumbuk. Ibu bilang, aku tidak bisa minum pil. Jadi harus dihancurkan terlebih dahulu. Itu pula alasan yang membuatku melemparkan obat-obatan itu. Padahal sebenarnya, aku melihat pil-pil itu berubah menjadi wajah Virga. Mengerikan. Aku terkejut dan melemparkannya. Aku memeluk lutut. Menggigil. Lebih banyak memejamkan mata. Untuk menghindari hal yang bukan-bukan. Seperti, botol infus yang pernah berubah menjadi wajah Virga. Dan aku berteriak-teriak. Melepaskan jarum di pergelanganku dan lari kalang kabut.

Hari itu, aku kembali melihat bayangan Virga. Nyaris nyata. Ia mengenakan kaus merah yang dilapisi jaket krem dibiarkan terbuka tanpa dirisleting. Wajahnya terlihat suram. Dari matanya terpancar kesedihan luar biasa.

"Pergi! Pergi!" Aku mengusirnya. Mengucek mataku berkali-kali. Tapi tetap seperti biasa. Bayangan itu bandel.

"Ibu! Ibu!" Aku berteriak-teriak. Tapi bayangan itu melangkah semakin dekat.

"Hei, tenang Mbak!" Dia menatapku penuh luka. Aku terkejut. Baru kali ini ada bayangan yang sampai bicara. Apa ... Apa sekarang aku benar-benar sudah gila?

"Kenapa Mbak jadi seperti ini?" Dia menatapku penuh rasa bersalah. Sedih. Rindu dan campur aduk. Memperhatikan kondisi tubuhku.

"Kamu?"

"Iya. Ini aku," aku mulai sedikit tenang. Dia kini duduk di bibir ranjang.

"Kamu benar Virga asli?" Ia menyodorkan tangannya.

"Mau sentuh?" Mau! Tapi ... Tidak. Aku tidak mungkin menyentuhnya.

Lalu ia mengambil sebuah sendok bekasku minum obat di meja sisi ranjang.

"Lihat! Aku nyata," katanya. Aku menghela napas.

"Aku pikir, kamu bayangan. Selama ini aku selalu dihantui dirimu," Aku menyentuh kening, menunduk.

"Maafkan aku, Mbak. Udah bikin Mbak seperti ini," kulihat air mengalir dari matanya. Aku menggeleng.

"Aku yang seharusnya minta maaf. Maafkan aku, Vir," aku membiarkan air mataku jatuh di depannya. Membuat ia mengeluarkan sapu tangan. Lalu mengusapnya.

"Setiap tangisanmu itu, membuatku sakit," ujarnya.

"Kamu juga nangis."

"Hanya orang-orang angkuh yang tak menangis, melihat wanita yang dicintainya semenyedihkan ini," kami sama-sama terdiam dalam waktu yang cukup lama. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Sampai ia berbicara lagi.

"Nggak nyangka. Sebulan aja ditinggal udah kayak gini. Apalagi setahun," ia tersenyum tengil padaku. Akhirnya, aku bisa melihat senyum itu lagi. Senyum yang kurindukan.

"Pokoknya kita nikah," putusnya kemudian.

"Mana bisa begitu? Itu namanya pemutusan sepihak. Egois!" Virga melebarkan bola matanya.

"Udah sekarat. Udah mau mati kayak gini masih bisa nolak?" Virga memasang tampang marah. Aku tahu dia sedang pura-pura.

"Jahat! Masa dibilang sekarat," Lalu kami tertawa. Tertawa sambil menangis.

"Pokoknya kita nikah. Titik!"

"Masa ngomongnya gitu? Nggak romantis."

"Oh, oke. Kanaya ...."

"Sejak kapan aku mengizinkanmu memanggil namaku?" Ia mendengus. Menahan gemas.

"Mbak Kanaya. Guruku. Yang baik, pintar, cantik, sholeha, gemar menabung ...."

"Kepanjangan ...."

"Protes mulu, sih! Kapan nikahnya?" Dia pura-pura marah lagi. Sejenak, kami tertawa. Masih sambil menangis.

"Gimana? Udah semua?" perkataan itu membuat kefokusanku kembali. Mas Faisal dan suamiku sudah mengantar dan membagikan buah-buah itu ke anak-anak di TPA kami. TPA yang dulu pernah ia berikan padaku. Yang saat ini kami rintis sama-sama. Kami menambahkan gedung baru. Hingga mampu menampung sekitar 200 santri lebih. Kami juga mempekerjakan beberapa guru.

"Umi!" Icha menarik-narik bajuku.

"Apa, Sayang?"

"Temenin Icha murojaah," pintanya. Tahu-tahu Virga muncul dan menggendong putri kecilnya.

"Mas Faisal ke mana?"

"Udah pulang. Sayang, kok kamu jalan-jalan. Udah sana istirahat." Matanya berganti fokus pada gadis digendongannya. "Murojaahnya sama Abi aja, ya, umi sakit," Icha mengangguk melingkarkan tangan mungil di leher abinya.

"Oh iya, kalo Icha berhasil hafal 30 juz, mau dikasih hadiah apa?" tanyanya tiba-tiba.

"Ehm ... Apa ya?" Kulihat Virga tersenyum penuh maksud. Lalu berbisik pada Icha yang seketika membuat matanya bersinar cerah.

"Serius, Bi!" katanya antusias. Virga mengangguk sambil melirikku. Aku curiga. Terkadang mereka sering berkomplot untuk menggodaku. Benar-benar sama persis.

"Umi, kata Abi. Kalau Icha hafal 30 juz mau dikasih hadiah adek," ia berkata kesenangan. Aku memandang Virga.

"Abiii!" Dua orang itu ber-high five. Tertawa puas. Icha turun dari gendongannya berlari ke dalam bersenandung ceria.

"Ayo!" Virga tahu-tahu menggendongku.

"Eh, ke mana?"

"Bikin adek," ia tersenyum tengil.

"Abii!"

TAMAT
Yoks. Makasih semuanyaaa. Yang udah mau bacaaa 😄😄😄😄😂😂😂😘😘😍

My Little Student (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang