Ada yang beda II

8.5K 557 3
                                    

Senja terlihat keemasan di langit barat. Aku mengendarai motor menuju pinggiran kota. Perlu sekitar waktu 30 menit dengan kecepatan sedang untuk sampai ke kampungku. Selama perjalanan, jantungku berdetak melebihi laju normal. Kenapa perkataan Virga begitu mengusikku? Aku menjadi cemas, kepikiran.

"Laki-laki lain. Aku misalnya?" Aku tercengang untuk beberapa saat. Sampai keadaan menyadarkan sendiri.

"Hahaha. Nggak lucu becandamu, Vir." Kupaksakan diri untuk tetap santai. Berharap tawaku mampu melebur suasana kaku ini.

"Aku serius. Bagaimana kalau kita ...."

"Udah, ya. Mbak pulang dulu." Buru-buru kupotong sebelum ia menuntaskan kalimatnya. Virga membukakan pagar rumahnya untukku. Menunggu sampai aku benar-benar enyah dari sini. Terakhir, saat aku menghidupkan motor, ia bergumam lagi.

"Bagaimana kalau ternyata kita jodoh?"

"Hahaha, dasar anak kecil. Mbak memang sedih. Tapi kamu nggak perlu menghibur Mbak seperti ini," kulempar senyum padanya. Bibirnya hendak berkata-kata lagi, buru-buru kuberpamitan, melesat pergi.

Pikiranku kembali melayang beberapa tahun belakang. Tepat saat pertama kali kutemukan seorang bocah berseragam merah putih dikeroyok teman-temannya. Aku tidak tahu apa masalahnya. Yang jelas pada saat itu, Virga mengalami beberapa kali pukulan hingga membuat wajahnya memar-memar dan berdarah.

Saat itu, aku masih kelas 2 SMA. Baru saja pulang menunggu bus di halte. Virga terisak, jatuh didekat sepedanya. Begitu aku berhasil mengusir anak-anak yang mengganggunya, kudatangi ia. Darah keluar cukup deras dari pelipisnya. Aku kebingungan. Kuputuskan untuk menyumpal lukanya dengan dasi. Membawa ia ke klinik terdekat. Dia terus menangis memanggil-manggil mamanya. Aku menunggui dan terus menghibur. Bahwa semua akan baik-baik saja. Tidak perlu takut.

"Sebentar lagi Mamamu ke sini." Kuusap kepalanya menggenggam tangannya. Tangis Virga perlahan mulai reda. Sampai seorang wanita cantik, berparas keibuan datang dengan panik.

"Ya Allah, Sayang!" Mbak Dita menghambur memeluk buah hatinya. Berterima kasih padaku dan membawa putranya pulang.

Satu minggu setelah kejadian itu, aku menunggu bus di tempat yang sama. Sebuah mobil berhenti, tak jauh dari tempatku. Lalu muncul wanita cantik dengan kepala terbungkus kerudung berwarna lembut. Wajahnya tidak asing. Seorang anak laki-laki mengikuti, bersembunyi di balik punggungnya. Dia anak laki-laki yang kutolong waktu itu.

"Dek, bisa bicara sebentar?" Mbak Dina memintaku masuk ke mobilnya. Dia bilang, kita bicaranya sambil mengantarku pulang saja.

Virga duduk di job belakang. Saat kusapa, anak itu diam. Malah membuang muka ke jendela.

"Kamu maukan jadi guru les anak saya?" Aku terdiam mendengar tawarannya.

"Terus terang, saya tidak punya pengalaman." Mbak dita tersenyum, membelokkan mobilnya di perempatan jalan.

"Nggak masalah. Kamu bisa belajar. Saya akan menggajimu sama seperti guru-guru privat profesional. Bagaimana?" Aku terdiam cukup lama. Sebelum akhirnya berkata iya. Apa salahnya mencoba?

Jadilah sejak itu aku menjadi guru privat. Beberapa teman Virga di sekolah, satu persatu juga mendaftar sebagai muridku. Berkat Mbak Dita yang sering promosi ke teman-teman arisannya, ada juga beberapa tertarik dan mendaftarkan anaknya sebagai muridku. Sampai aku mampu membeli sebuah motor. Tidak baru memang. Tapi itu sudah Alhamdulillah. Daripada naik bus tiap hari.

Aku kuliah di kampus swasta. Tidak begitu terkenal. Tapi bisa sambil kerja. Sampai aku lulus dan diterima bekerja di salah satu sekolah menengah atas, sebagai guru honorer. Gajinya memang tidak seberapa. Tidak lebih besar dari gajiku sebagai guru privat. Hanya ... Jiwa mengajar ini terus tumbuh begitu saja. Aku suka anak-anak. Aku suka rutinitasku saat ini. Dan yang paling penting aku menjalani semua dengan hati.

Sejak hari itu pula, Virga sering muncul tiba-tiba. Secara tak terduga. Seperti saat sekolah bubar. Beberapa anak perempuan bergerombol , menunjuk-nunjuk sebuah tempat. Di mana Virga dan motornya berada.

"Virga, Ngapain kamu di sini?" Aku mendatanginya. Kulihat banyak sorot mata yang memperhatikan langkahku mendekat ke pemuda ini. Rupanya, Virga cukup menarik perhatian mereka.

"Jemput Mbak." Ia menyodorkan helm padaku.

"Tadi aku ke rumah Mbak. Kata Bapak, motor Mbak lagi di bengkel. Ya udah, aku ke sini."

"Mbak bisa naik bus. Kamu nggak perlu repot-repot."

"Nggak merasa repot. Anggap aja latihan. Siapa tau kita beneran jodoh. Jadi nanti, aku yang antar jemput." Virga mengedipkan sebelah matanya, kemudian tertawa. Aku tahu dia bercanda. Dan aku harap ... Dia benar-benar bercanda.

My Little Student (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang