Tolong Berhenti Mengikutiku!

6.4K 431 3
                                    

Aku melempar tubuh ke ranjang. Setelah menghubungi Tisa, dan mengatakan aku bersedia mengenal Mas Faisal. Tubuhku terasa lemas sekali. Kepala berdenyut-denyut. Pusing.

"Nay?" Kulihat Ibu berdiri di ambang pintu melongok ke dalam kamar.

"Tumben langsung tidur?" Ia mendekatiku dan menyentuh kening.

"Kamu sakit?" Aku tak menjawab. Terlalu berat rasanya untuk bergumam. Rahang-rahangku kaku. Yang kurasa hanya kepalaku seperti dililit puluhan lapis perban. Ibu keluar, kemudian masuk ke kamar membawa baskom. Ia meletakkan waslap di keningku.

"Dikompres dulu, ya," aku mengangguk lemah. Ponselku berbunyi. Kulihat sebuah nama muncul di layar. Anak ini lagi. Ck! Kubiarkan begitu saja. Sampai beberapa kali berbunyi dan membuat ibu curiga.

"Kok ndak diangkat?"

"Orang iseng, Bu. Nggak penting." Aku terpaksa berbohong. Kalau aku mengatakan itu Virga, ibu pasti memintaku untuk mengangkat.

"Nay, tadi Ibu ketemu Pak Haji Munif. Katanya, dia ndak tahu menahu soal tepea itu. Tanahnya sudah dijual ke orang." Aku membulatkan bibir.

"Ya sudah, ndak papa, Bu," aku memaksakan untuk tersenyum. Sedang tidak ingin memikirkan apa-apa. Sudah cukup seharian ini aku main kucing-kucingan dengan Virga. Anak itu tidak ada kapoknya. Sampai pertemuan terakhir kami tadi. Aku berharap setelah ini, Virga benar-benar pergi dari hidupku.

***

Siang itu ...

"Bisakah kamu berhenti mengikutiku?" Virga memandangku. Senyumnya yang tadi mengembang, mulai memudar.

"Kenapa?"

"Vir, tolong! Seharusnya kamu ingat. Hubungan kita tidak lebih dari bimbel. Aku guru privatmu dan kamu muridku. Selain itu, tidak ada!" Kulihat sorot mata Virga berubah. Aku membuang muka, begitu dia memandangku seperti itu. Entah mengapa, rasanya ada luka di matanya. Dan aku merasakan luka itu menjalari sekujur tubuhku.

"Kalo aku ingin lebih gimana?" ujarnya kemudian. Yang seketika membuat jantungku berdebar-debar kencang nyaris rontok. Aku harus tahan!

"Apa maksudmu?"

"Sebenarnya aku menunggu saat itu tiba. Tapi kupikir, mungkin inilah saatnya. Mbak, izinkan aku menikahimu." Jantungku melompat dari tempatnya. Akhirnya, kalimat menakutkan yang selama ini menghantuiku benar-benar diucapkan olehnya. Aku memeriksa bawah kaki. Barangkali jantungku beneran jatuh. Wajahku memanas, berusaha menekan air mata.

"Maaf!" Aku tidak sanggup berbicara banyak. Jika itu kulakukan Virga akan tahu betapa bergetarnya suaraku.

"Kenapa?" Nadanya setengah meninggi, tidak terima. Aku terdiam. Aku bingung harus menjawab apa. Sibuk mengontrol agar air mata ini tidak tumpah.

"Apa karena aku anak kecil?" geramnya.

"Itu kamu tahu alasannya. Kalaupun aku mau menikah, aku butuh seorang laki-laki dewasa. Yang usianya di atasku. Bukan remaja sepertimu."

"Hahaha," ia tertawa. Menggelengkan kepalanya. Kemudian tertawa lagi. Tertawa luka tepatnya. Lalu berganti melempar tatapan sinis.

"Aku nggak nyangka. Sepicik itu pemikiran mbak menilai kedewasaan seseorang. Apa usia penentu utama kedewasaan?" Virga menyahuti sinis.

"Yang jelas ini tidak boleh terjadi! Bagiku, kamu adalah Virga kecil. Aku menganggapmu seorang adik." Kenapa aku merasa perkataanku menyakitiku? Ya Allah ... Aku tidak kuat. Aku ingin menangis.

Virga menggeleng tidak terima. Wajahnya yang bersih, memerah. Menahan amarah. Kedua tangannya mencengkeram setir motor. Aku tahu, perkataanku pasti menyakitinya. Maafkan aku, Vir! Maafkan!

"Kenapa? Kenapa Mbak menyakitiku seperti ini?"

"Lupakan aku, Vir. Melangkahlah ke depan. Aku hanya cinta monyetmu. Aku yakin, itu tidak akan bertahan lama."

"Jadi Mbak meremehkan perasaanku?" Virga berkata meluap-luap.

"Percayalah. Kelak kamu akan menemukan seseorang yang lebih baik. Dan itu bukan aku. Oh, ya. Mulai saat ini, mungkin sebaiknya aku berhenti mengajarmu. Itu lebih baik untuk kita. Dan aku mohon, kamu berhenti ikut campur urusanku." Kuhidupkan kembali mesin motor. Menarik gas kuat-kuat, tanpa peduli lagi panggilannya.

Sepanjang perjalanan pulang aku menangis. Berhenti di tepi jalan, menghabiskan sisa air mataku. Sekiranya sampai rumah, ibu dan bapak tidak bertanya macam-macam. Kurasakan angin jalanan begitu dingin. Tubuhku menggigil dan berusaha untuk tetap fokus menyetir kembali.

Mungkin sebaiknya aku tidak menunda-nunda lagi. Aku akan belajar mengenal dan menerima Mas Faisal. Dan mungkin, dengan begitu juga Virga akan lekas pergi dari pikiranku. Dari hidupku.

Perutku bergejolak hebat. Aku bangkit menghambur ke belakang dan memuntahkan semua isi perut. Ibu berlari menujuku. Memijat-mijat belakang leher.
"Kayaknya kamu masuk angin. Ibu kerokin, ya." Aku menolak. Memilih meminum obat saja dan istirahat. Tepat pada saat itu, seseorang mengetuk pintu. Tisa.

"Nay, kamu serius?" Tisa duduk di bibir ranjang, menungguiku.

"Iya." Tisa terdiam cukup lama, memandangiku yang tergolek lemas.

"Jangan bohongi dirimu. Kamu menyukai anak itu, kan? Meski kamu terus berkata tidak. Tapi matamu ...."

My Little Student (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang