Pengakuan I

7.5K 506 1
                                    

Hinggar bingar jalanan seperti tertelan. Hanya ada aku, Virga, udara dan denyut jantung yang terus berdebar.
Entah perasaan aneh macam apa ini. Yang terus kuingat, Virga adalah muridku. Anak kecil yang kutemukan babak belur. Dan selamanya, ia akan jadi murid kecilku. Aku geming dan pasrah setelah perdebatan kami yang cukup ketat. Virga mengajakku mampir ke kedai es krim.

"Masih ingat tempat ini?" ujarnya seusai memarkir motor. Mataku mengedar ke sekeliling. Memperhatikan segala sisi. Tidak ada yang berubah. Masih dengan interior klasik berbaur modern. Lalu perhatianku berganti pada sebuah meja. Tempat seorang gadis mengenakan baju SMA, bersama anak kecil yang lagi ngambek, karena mama papanya tidak bisa pulang untuk urusan pekerjaan. Padahal itu hari ulang tahun Virga. Hari yang teramat penting baginya. Dia marah tidak mau pulang. Mbak Dita meneleponku untuk menjemputnya. Mengajak jalan-jalan dan mengusir kesedihannya.

"Ayo sini!" Virga membimbingku untuk duduk di tempat yang sama. Di kursi kayu yang di potong sembarang, tampak natural dan elegan. Angka 15 yang terbuat dari kayu juga masih mentereng di atas meja. Masih kuingat Virga berkata apa. Dengan emosi yang meluap-luap, anak kecil itu menyendok banyak-banyak es krim sampai mulutnya penuh dan belepotan.

"Kelak kalo aku sudah besar, aku nggak mau kerja seperti Mama dan Papa," dengusnya. Menyendok sesuap, kemudian melanjutkan perkataannya lagi. "Aku tidak suka pekerjaan yang terikat seperti mereka. Aku mau jadi bos untuk diriku sendiri. Tidak ada yang boleh mengikatku." Virga kecil bersungut-sungut. Aku tersenyum mendengar ucapannya.

"Memangnya Virga mau jadi apa nanti?"

"Apa aja. Asal nggak terikat. Dan punya banyak waktu untuk keluarga. Terutama anak-anak." He? Aku sedikit tercengang mendengar ucapannya. Tapi kemudian memaklumi. Anak ini memang istimewa. Tidak heran jika pemikirannya setingkat lebih tinggi dari anak seusianya. Jika saat ini teman-temannya sibuk menghabiskan waktu bermain, Virga justru memikirkan masa depannya. Dia juga sering bercerita, ingin masuk ke kampus yang mana-mana.

Seorang pelayan meletakkan pesanan kami di atas meja. Virga langsung menyerbunya tanpa ba bi bu lagi. Cara makannya masih sama, tak berubah.

"Dasar anak kecil. Makan aja masih belepotan," aku tertawa. Virga langsung menghentikan makannya dan cemberut.

"Emang gimana cara makan laki-laki dewasa?" tanyanya dengan kening berkerut.

"Yang jelas nggak rakus," aku menjawab sembarang. Virga menarik tissu dari tempatnya, manyun. Mengusap bibir dengan kasar. Tapi kemudian kami sama-sama tertawa.

"Biar aku aja," Virga menolak saat aku mengeluarkan uang dari dompet.

"Udah, Mbak aja." Aku memaksa, tapi seperti biasa anak laki-laki itu tidak mau mengalah. Ia mengeluarkan dompetnya dan terdiam saat melihat isi.

"Ada nggak? Ditungguin nih?" sindirku. Yang segera membuat Virga garuk-garuk kepala, mringis.

"Pinjem dulu, deh. He," Virga nyengir. Aku segera membayar dan keluar dari kedai itu.

"Makanya kalo nggak punya uang nggak usah sok." Aku terkekeh. Melihat tingkahnya yang mati gaya saat tahu isi dompet.

"He, aku nggak bawa uang cash, Mbak."

"Bilang aja nggak punya," sambarku. "Gitu berani ngomongin soal jodoh. Dasar anak kecil. Mending kamu fokus cari kerja. Tata masa depan." Virga mendadak menghentikan langkah. Membuatku nyaris menabrak punggungnya. Ia berbalik, sampai kami benar-benar berhadapan. Air mukanya tegang. Membuatku ngeri sendiri melihat tatapannya. Apa dia tersinggung dengan kata-kataku ya?

"Bisa nggak Mbak, berhenti panggil aku anak kecil?" Aku ingin berujar tapi dia keburu memotong.

"Aku nggak suka dipanggil anak kecil!" tegasnya. "Ya ... Maaf. Mbak nggak ada maksud. Tapi memang ...." Virga kembali berjalan menuju motornya. Kali ini dengan langkah cepat, seperti tidak ingin mendengarkan penjelasanku. Ia menyodorkan helm.

"Rasanya aku perlu nunjukin Mbak sesuatu. Ayo, naik!" Nada bicaranya kembali standar. Meski tak kulihat ada senyum di wajahnya.

"Vir, kamu marah?" tanyaku hati-hati. Kudengar napas besarnya bercampur deru motor.

"Enggak." Singkat, padat dan jelas. Tapi aku lega. Suaranya kembali santai.

Virga menepikan motornya di depan sebuah ATM.

"Kita mau ngapain?"

"Ambil uang. Aku kan tadi bilang pinjam." Tanpa banyak kata, ia mengajakku untuk ikut masuk. Aku tidak mau. Tapi Virga memaksa.

"Mau ngapain sih?" Dia diam. Memasukkan kartu dan sibuk memencet tombol di sana. Sampai beberapa lembar ratusan ribu keluar dari dalam. Kemudian menekan-nekan lagi, sampai layar memunculkan saldo tabungannya. Aku terperanjat.

"15 M ?" kataku melongo. Tentu bukan jumlah yang sedikit.

"Vir, kamu ...."

"Mungkin ini terlalu kekanakkan. Tapi aku tidak suka diremehkan. Apalagi sama Mbak." Virga menghela napas, rahangnya bergemeletuk, menahan marah. Aku jadi merasa bersalah.

"Aku kerja Mbak!"

My Little Student (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang