Ya Allah, Kembalikan Dia

7.3K 415 3
                                    

"Ya udah. Sekalian aja. Kebetulan aku belum ashar-an, nih," Mas Faisal melepas helmnya.

"Nitip motor, ya!" Aku mengangguk. Duduk di ruang tamu, menunggu mereka kembali. Tak lama kemudian dua orang laki-laki dewasa berjalan berdampingan menuju rumah. Pemandangan yang sangat indah. Mereka tampak asyik bercengkerama. Sesekali tergelak. Tapi, Icha tak henti-henti mencuri fokus abinya. Sampai Virga gemas, dan menggendong gadis kecil itu. Aku senyam-senyum. Bahkan tidak menyangka semua akan berakhir indah seperti ini. Benar kata Virga. Sekuat apa pun kita memaksa seseorang untuk berjodoh dengan kita, jika bukan takdir, Allah akan menyelesaikan dengan caranya.

Hiruk pikuk terdengar di telingaku. Mereka berteriak-teriak memanggilku. Suara tangisan beberapa orang yang tampak jelas. Ibu, Tisa dan Mbak Dita. Raungan sirine ambulance. Permintaan maaf seseorang. Pertengkaran. Perdebatan.

Dadaku sakit. Tubuhku lemas. Bahkan untuk bernapas saja susah. Aku merasa megap-megap. Kepalaku pusing, dan ... Gelap begitu saja.

Tiba-tiba, aku berlarian di tanah lapang. Mengejar seekor kupu-kupu yang tampak mempesona. Aku tidak tahu di mana ini, yang jelas indah sekali. Di antara ilalang yang meninggi dan daun-daun kering berbunyi karena injakan kakiku. Sayup-sayup kudengar suara mengaji bersama angin. Suara mengaji seorang laki-laki. Sangat merdu. Mataku menebar liar. Mencari sumbernya. Entah mengapa, aku mengenali suara ini. Begitu akrab di telinga. Tapi aku lupa siapa. Kulupakan kupu-kupu itu, berjalan mencari asal suara. Hingga kutemui seorang laki-laki tengah duduk di padang rumput.

Seluruh tubuhnya bersinar. Apa dia malaikat? Aku terpana. Baru kali ini kutemui seseorang dengan ketampanan yang tidak manusiawi. Mungkin dia memang malaikat. Perlahan, wajahnya semakin jelas. Cahaya itu sedikit memudar di antara wajahnya. Hingga aku dapat mengenali siapa dia.

"Virgaaa!" Aku berteriak. Dia tersenyum padaku. Tanpa berbicara dan hanya melihat.

"Ke mana saja, kamu? Kenapa kamu tinggalkan aku? Jangan tinggalkan aku, Vir!" Tahu-tahu air mataku meluruh begitu saja. Ingin berlari memeluknya namun seperti ada penghalang di depan kita. Sebuah tembok transparan. Seperti kaca. Virga tersenyum teduh. Wajahnya terlihat damai. Ia bergumam, "Aku baik-baik saja di sini, Mbak. Meski jauh, aku akan selalu berdoa untuk kebahagiaanmu. Lanjutkan hidupmu, Mbak." Aku menekap mulut. Terengah-engah, tak dapat lagi mengendalikan diri. Virga membalikkan badan, melangkah pergi.

"Vir, jangan tinggalkan aku! Aku ingin hidup bersamamu. Aku mau menikah denganmu. Kembali, Vir!" Aku mengejarnya, tapi terhantam tembok transparan tadi. Tubuhku terpental, jatuh. Sedang kulihat Virga, cahaya kembali menyergapnya. Ia tampak menyilaukan laksana matahari siang. Semuanya menjadi putih, sampai aku tak dapat melihat apa-apa lagi. Tapi aku tak berhenti teriak. Memanggil namanya. Hingga suaraku serak bercampur tangis.

"Virga, jangan tinggalkan aku! Jangan tinggalkan aku, Viiir!" tubuhku tersentak. Membuka mata. Dan baru menyadari saat ini aku bangun di tempat yang berbeda. Ruangan putih, dengan pandangan orang-orang. Sedih, cemas, dan terkejut. Mereka mengerubung mendekat ke arahku. Aku baru menyadari, jika mengenakan masker oksigen. Tanganku juga tersambung dengan selang infus. Aku bernapas lega. Ternyata tadi cuma mimpi. Tapi ... Bagaimana bisa aku di sini?

"Virga? Siapa itu?" Wanita berjas putih, dengan stetoskop tergantung di lehernya bertanya. Semua terdiam. Tak ada yang menjawab. Kulihat keterkejutan tampak di wajah semua orang. Bapak, ibu, dan ... Mas Faisal dengan muka pucatnya.

"Ya sudah, saya periksa dulu," ucap dokter itu. Begitu tak mendengar jawaban dari kami.

Setelah dokter pergi, suasana kembali tegang. Aku baru sadar, ternyata aku masih mengenakan kebaya pernikahan.

"Nduk, kamu ndak papa, toh?" Ibu menatapku sedih. Ada air di sudut-sudut matanya. Aku tersenyum, menggeleng.

Tisa dari tadi tak henti-hentinya menggenggam tanganku. Dari matanya tampak kepanikan. Mataku kini berganti ke dua orang yang tengah duduk di sofa. Dia Mbak Dita dan Mas Antok dengan raut muka merasa bersalah. Mbak Dita menatapku seperti meminta maaf. Mungkin dia merasa aku seperti ini akibat dari ceritanya semalam. Terakhir, kutatap laki-laki yang berdiri di sisi ranjangku. Mas Faisal. Dengan raut muka pucat, penuh rasa bersalah.

"Nay, aku minta maaf. Ini benar-benar di luar kuasaku. Aku tidak tau jika ...." Kulihat seorang wanita dengan tubuh sedikit berisi berdiri di pojokan. Belakangan kuketahui namanya Mbak Firda. Istri Mas Faisal yang kembali pulang dan berkat dia, pernikahan kami dibatalkan. Tapi Mas Faisal merasa bersalah. Karena aku tiba-tiba saja sesak napas dan pingsan. Dia mengira aku seperti ini karena kegagalan pernikahan kami. Padahal ... Aku menjadi sakit bukan karena itu. Tapi karena ... Perasaan bersalah yang terus-terusan menekanku.

My Little Student (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang