Duhai Istriku

8.1K 461 5
                                    

"Uhibbuki mitsla maa anti. Uhibbuki kaifa maa kunti.
(Aku mencintaimu, apa pun dirimu. Aku mencintaimu bagaimanapun keadaanmu)

Wa mahmaa kaana mahmaa shooro. (Apa pun yang terjadi dan kapanpun)"

Sayup-sayup, kudengar suara merdu itu, di telingaku. Ini lagu kesukaannya. Sebuah tangan besar dan hangat terus memainkan rambutku, mengusapnya. Dia bersenandung lagi.

"Antii habiibati anti
(Engkaulah cintaku)
Zaujati, antii habibatii anti
(Duhai istriku, engkaulah kekasihku)"

Tangan besar itu mengambil sesuatu di keningku. Waslap yang mulai kering karena menyerap panas dari tubuhku. Kudengar suara perasan, lalu tangan itu menaruh lagi waslap basah di kening.

"Halaalii anti laa akhsyaa 'azuulan himmuhuu maqti. Laqod adzinaz zamaanu lanaa biwushlin ghoiri munbatti.
(Engkau istriku yang halal. Aku tidak peduli celaan orang. Kita satu tujuan untuk selamanya)

Saqoitil hubba fii qolbii bihusnil fi'li wassamti. Yaghiibus sa'du in ghibti wa yashful 'aisyu in ji'ti. (Engkau sirami cinta dalam hatiku. Dengan indahnya perangaimu. Kebahagiaanku lenyap ketika kamu menghilang lenyap. Hidupku menjadikan terang ketika kamu di sana)

Nahaarii kaadihun hatta idzaa maa 'udtu lilbaiti. Laqiituki fanjalaa 'annii dhonaaya idza maa tabassamti. (Hari-hariku berat sampai kembali ke rumah menjumpaimu. Maka lenyaplah keletihan ketika kamu senyum)

Tadhiiqu biyal hayaatu idzaa bihaa yauman tabarromti. Fa as'aa jaahidan hattaa uhaqqiqo maa tamannaiti. (Jika suatu saat hidupmu menjadi sedih, maka aku akan berusaha keras. Sampai benar-benar mendapatkan apa yang engkau inginkan)"

Ia bergeming. Kurasakan tangan besar itu meremas tanganku, hangat. Kemudian menciumnya. Di telapak, lalu di punggung tangan.

"Ya, Haura Insiyah ...." panggilnya. Lembut sekali terdengar. Itu nama panggilan kesayangannya kepadaku. Yang artinya "Bidadari berwujud manusia" salah satu julukan yang disematkan untuk putri Rosulullah, Fatimah Az Zahra. Mungkin ini terlalu berlebihan. Tapi aku menyukainya. Ia selalu memperlakukanku seperti seorang putri. Cara memandangnya, selalu membuatku merasa akulah orang paling beruntung yang mendapatkannya.

"Sayang, bangun! Waktunya minum obat." Aku terpaksa membuka mata yang terasa panas. Laki-laki yang berada di sisiku itu tersenyum teduh. Mengambil sekantong obat di meja kecil sebelah tempat tidur kami.

"Gedhe amat. Mana ada tiga lagi. Aku tidur aja, ya, Bi. Nanti sembuh, kok," kilahku. Merajuk. Menatapnya seperti pandangan kucing pada majikan yang minta makan.

"Dasar anak kecil!" Aku langsung cemberut. Dia sering menghinaku dengan kalimat itu. Masih belum berubah. Bahkan menirukan ekspresiku setiap kali mengatakannya. Ia terkekeh. "Minum obat aja, nggak bisa. Makanya jaga kesehatan kalo nggak mau minum obat," tukasnya. Geleng-geleng kepala. Tapi kemudian tersenyum kembali.

"Mau dihancurin? Ia menawarkan." Aku mengangguk. Ia keluar sebentar. Tahu-tahu kembali dengan sendok dan serbuk hasil hancuran obat itu.

"Nah, anak pintar!" kekehnya. Mengelus kepalaku seperti anak kucing, seusai meminum obat. Aku menatapnya, kemudian memeluknya.

"Loh, eh. Sebentar. Aku mau naruh gelasnya dulu," ia merasa kerepotan. Karena aku menahannya saat hendak bangkit. Aku melepaskan. Membiarkan ia menaruh gelas bekasku di meja dan kembali lagi duduk di sisiku. Aku memeluknya lagi.

"Hmm ... Dulu aja nggak mau. Sekarang udah nempel kayak prangko," ledeknya. Aku mencibir. Dia tertawa. Tapi kemudian mendekapku hangat.

"Terima kasih," ujarku. Meneteskan setitik air. Ia melepas pelukan, menangkup kedua pipiku.

"Apanya yang sakit? Kok nangis?" Ia mengusap dengan ibu jarinya. Lalu mengecup bekas air mata tadi.

"Sembuh!" Lalu melakukan hal yang sama pada mataku satunya. Mengusap kemudian menciumnya. "Sembuh!" Kami tergelak. Entah. Bagaimana bisa dia memiliki cara seperti itu. Tapi caranya cukup manjur.

"Memang air selalu diidentikan dengan sakit? Kesedihan?" Ia menatapku. Membenturkan keningnya pada kepala.

"Enggak juga. Cuma, kebanyakan," tandasnya.

"Umiii!" Seorang gadis kecil berlari masuk ke kamar kami.

"Ayo kita ke masjid. Icha udah siap, lho!"

"Umi sakit. Ke masjidnya berdua sama Abi, aja, ya," terang suamiku.

"Sayang, pergi dulu, ya!" Adzan ashar berkumandang. Ia mengecup ubun-ubunku. Lalu pergi. Gadis kecilku, yang masih berusia 5 tahun, salim. Annisa Az Zahra. Atau kami sering memanggilnya Icha.

"Assalamualaikum, Umi!" Ia mencium kedua pipiku, lalu mengikuti langkah abinya. Yang menggenggam telapak mungil itu.

Tak berapa lama, aku mendengar suara motor berhenti. Dengan susah payah aku bangkit. Ingin melihat. Mas Faisal!

"Assalamualaikum, Nay!" Lelaki itu tersenyum, turun dari motornya yang membawa dua box kiri kanan berisi buah.

"Waalaikumussalam, Mas. Wah banyak buahnya. Mau kirim ke mana, nih?"

"Suamimu yang pesen. Katanya buat anak-anak ngaji." Aku membulatkan bibir.

"Mas Virganya lagi ke masjid."

My Little Student (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang