Jodohku

6K 405 1
                                    

Dari tadi aku mondar mandir tak jelas. Gelisah. Tidak tenang. Nanti malam, Mas Faisal akan datang. Duh! Aku duduk. Berdiri. Duduk lagi! Menggigit kuku, berdiri. Oke. Mungkin aku sudah tahu wajahnya. Lelaki dengan rahang kotak, berjanggut tipis. Rambutnya sedikit panjang mencapai telinga dan menutupi belakang leher. Hidungnya juga besar. Bukan mancung. Itu beda! Tapi ... Sama kali, ya? Ah tahulah! Pokoknya dia lumayan tampan. Ada tahi lalat di janggut sebelah kiri dengan ukuran sedang. Yang membuatnya terlihat lebih manis.

"Nay, kamu kenapa?" Aku tidak tahu jika bapak memperhatikanku. Kulihat ibu senyam-senyum sendiri. Sepertinya mengerti kegelisahanku.

"Bapak kayak ndak pernah muda, aja," tegurnya. Memotongi sayuran untuk persiapan nanti malam. Aku cuma nyengir.

"Kalem, Nduk! Ndak perlu kayak gitu." Ibu menenangkan. Aku menarik napas dalam-dalam, menghembuskan beberapa kali. Lumayan. Sedikit merasa lega.

"Oh iya, kok Ibu ndak pernah lihat Nak Virga lagi? Biasanya dia suka main ke sini?"

"Dia kan sekarang sudah besar, Bu. Sekarang juga sudah kerja. Pasti sibuk," kilahku. Tak mungkin aku jujur apa yang terjadi pada kami. Aku tahu ibu dan bapak sangat menyayangi anak itu. Karena di rumah kami, tidak ada anak laki-laki. Satu-satunya anak mereka, hanya aku.

Ibu mengangguk-angguk. "Padahal dulu sering nginep di sini, ya. Anaknya baik. Lucu, pinter lagi. Jadi kangen ...." Aku tidak menyahut. Kenapa sih di saat aku sedang kacau balau begini menunggu calon suamiku, ibu malah sibuk membahas Virga?

"Jadi, Nak Virga kerja apa, Nduk?"

"Programmer."

"Pro? Pro apa?"

"Pokoknya yang suka mainan komputer itu, Bu." Percuma juga dijelasin. Ibuku tidak akan paham.

"Mainan? Jaman sekarang kok aneh-aneh ya, Nay. Mainan aja dibayar." Ibuku berceloteh. Geleng-geleng tak mengerti dengan perkembangan zaman. Aku tidak menyahut, dan permisi pergi.

"Mau ke mana?"

"Rumah Tisa."

***

Di rumah berukuran sedang itu, seorang wanita berambut pendek sebahu dengan celana gantung dan kaus oblong Spongebobnya, membuka pintu.

"Yaelah. Ngapain sih panas-panas begini ke rumah?" keluh Tisa.

"Maaf, ya, Tis. Aku lagi gelisah." Tisa buru-buru mengubah ekspresinya begitu melihat wajah melasku. Oke. Aku tahu aku mengganggu. Tapi ... Cuma Tisa satu-satunya orang yang bisa memberiku masukan. Meski kadang rada sableng dan suka semaunya sendiri.

"Ya udah, ayo masuk!" Tisa membuka pintu lebih lebar lagi. Membiarkan aku masuk.

"Lila ke mana?"

"Tidur." Tisa menaikkan semua kakinya ke atas sofa. Mengambil remote TV dan mematikannya. Aku sempat melihat channel terakhir yang dia putar. Film Spongebob. Benar-benar tidak pernah berubah. Tisa amat menyukai kartun satu itu.

"Ada apa?" Dia kini fokus menatapku.

"Tis. Aku takut."

"Takut apa? Takut salah pilih? Sebelum terlambat. Kamu masih ada waktu untuk mengubah keputusanmu." Aku menggeleng.

"Bukan itu. Aku sudah yakin dengan keputusanku." Benarkah? Tentu! Iya. Aku yakin Mas Faisal adalah jawaban dari sholat-sholat malamku. Aku tidak mungkin salah pilih.

"Terus?"

"Omongan para tetanggaku." Aku menghela napas jengah. "Soal kutukan itu. Bagaimana kalo Mas Faisal mengalami hal yang sama. Seperti calon-calonku sebelumnya?" Tisa awalnya melongo. Tapi kemudian tertawa keras-keras. Hingga kudengar rengekan Lila.

"Duh, ih! Gara-gara kamu, nih!" Tisa lari ke kamarnya melihat Lila. Aku mengikutinya. Bayi mungil itu hanya menggeliat. Membalikkan tubuh ke sisi lain. Kembali terlelap.

"Untung nggak bangun." Tisa mengusap dada. Kemudian kami kembali ke ruang tamu.

"Nay, kamu tuh terlalu paranoid jadi orang," celetuknya.

"Ya jelas parno. Kamu tau sendiri, kan? Tujuh kali aku gagal, Tis. Dan ini yang kedelapan. Bagaimana kalau gagal lagi?"

"Ya itu namanya bukan jodoh. Mungkin ada jodoh yang lain." Aku terdiam. Menarik napas.

"Soal gosip yang beredar di kampungmu, udah aku sampein kok ke kakakku sama Mas Faisal. Dia biasa aja tuh."

"Kamu dah ketemu sama dia?"

"Udah, dong! Akuu!" Tisa berkata membanggakan dirinya.

"Masa iya aku nyomblangin temen sendiri tapi nggak tau langsung calonnya. Jadi kemarin aku perhatiin tuh, Mas Faisal. Dari bibit, bebet, dan bobotnya. Terutama nih soal pekerjaan. Aku nggak maulah sohibku nanti menderita." Aku tersenyum. Menggeleng maklum. Tisa memang selalu blak-blakkan.

"Baik sekali kamu," Tisa membusungkan dada mendengar pujianku.

"Tisa gituloh! Dia itu ternyata punya ruko, Nay. Deket Pasar Senin. Tempat mendisplay buah. Karyawannya ada 2. Dan lumayan rame." Aku diam saja menyimak ucapan Tisa yang penuh ekspresi.

"Tapi, Nay. Kamu bener mau sama dia? Kayaknya kamu bakal kerepotan deh ngurusin anaknya yang masih SD."

"Insyaa Allah aku sanggup. Lagian aku suka anak-anak. Tiap hari ketemu anak-anak. Bukan masalah bagiku. Yang paling penting itu, agamanya gimana?" Tisa mengacungkan jempol.

"Jangan ditanya soal itu. Udah pasti baik." Alhamdulillah. Aku senang mendengarnya. Semoga dia benar-benar jodohku.

My Little Student (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang