Pengakuan II

6.8K 467 7
                                    

"Aku membuat beberapa program, lalu kutawarkan ke perusahaan-perusahaan. Mereka tertarik dan membelinya. Aku juga menjalin sama dengan mereka. Tugasku hanya menjaga data. Cukup datang seminggu sekali ke kantor untuk mengecek. Selebihnya, aku pantau dari rumah. Aku sendiri punya perusahaan. Meski hanya bentuk website. Tapi itu lebih menguntungkan. Aku tidak butuh karyawan, dan tidak perlu menggaji mereka." Aku melongo mendengar penjelasannya. Bagaimana dia bertindak sejauh itu? Rupanya aku tidak sepenuhnya tahu tentang dia. Meski telah mengenal cukup lama. Aku menunduk. Merasa bersalah. Aku tidak tahu jika ucapanku sangat menyinggungnya. Sekaligus ... demi menghindari tatapannya yang membuatku merinding. Sampai kurasa tubuhku bolong-bolong disorot dengan pandangan setajam itu.

"Maaf," kataku lirih. Virga mendengus. Membuat kami terperangkap keheningan, sampai dia bicara lagi.

"Mbak, bisa nggak, sekali aja jangan anggap aku anak kecil?" Aku terdiam. Menelan ludah. Andai saja Virga tahu, jika aku mengatakan itu demi meyakinkan dirinya. Agar dia ingat. Jika kami berbeda. 9 tahun selisih usia kami. Mungkin baginya bukan apa-apa. Tapi bagiku, sangatlah penting. Aku ingin laki-laki yang lebih dewasa. Yang mampu mengayomi dan menjadi pembimbing yang baik. Bukan remaja sepertinya.

Ketukan pintu membuyarkan ketegangan ini. Aku bersyukur, ketika seorang ibu bertubuh besar ngomel-ngomel bersama dua orang lainnya karena menunggu terlalu lama.

"Kalo mau ngobrol jangan di sini dong!" semprotnya begitu kami keluar. Kulempar senyum sebagai permintaan maaf.

Begitu sampai di luar, kuhirup udara sebanyak-banyaknya. Seolah baru saja keluar dari gudang pengap, sampai tidak bisa bernapas. Aku mengamati Virga yang berjalan seperti biasa. Semoga dia tidak berkata yang aneh-aneh lagi. Ia menyodorkan helm. Tapi sebelum itu, ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk.

Tisa : -Ada hal penting. Ke rumah sekarang-

Dia memang suka seperti ini. Suka dadakan memberi tahu. Dan mau tidak mau aku harus datang saat itu juga sesuai permintaannya.

"Kenapa?" Suara Virga membuatku mengalihkan perhatian lagi kepadanya.

"Temen Mbak SMS. Disuruh ke rumahnya."

"Aku antar, ya!" Itu bukan pertanyaan. Tapi permintaan. Entah mengapa aku susah menolak permintaannya. Semoga Virga tidak tanya macam-macam saja.

Tisa menyambut kami antusias. Dia melambai-lambai begitu riang. Yang kupikir pasti ada penyebabnya. Sangat tumben ia bergerak selincah itu, tanpa ada alasan. Tisa menghampiriku. Menenggol-nenggol dengan sikunya, tentu lepas dari pengawasan Virga.

"Ciyee. Siapa ini?" Tisa bertingkah genit. Duh, menyebalkan. Aku takut tingkahnya ini semakin membuat harapan Virga mengembang.

"Eh mampir dulu, ayuk!" ajaknya bersemangat. Ish! Dia sama sekali tidak bisa diajak kompromi. Padahal aku sudah melotot padanya, agar dia cepat-cepat membawaku pergi.

"Sebaiknya nggak usah. Vir, mending kamu pulang. Soalnya udah sore."

"Terus Mbak pulangnya?"

"Nanti aku diantar Tisa. Kamu tenang aja. Nggak perlu nungguin." Tisa menatapku ingin protes, tapi aku lebih cepat menutup mulutnya.

"Udah, nggak apa-apa. Kamu pulang aja. Makasih, ya." Aku masih menyumpal mulut sahabatku ini. Virga hanya membulatkan bibir tanpa curiga. Dan berpamitan pergi. Aku melepas bekapanku setelah anak itu enyah.

"Yaa ... Nay. Kok disuruh pulang sih?" Tisa menyayangkan. Sedang aku bernapas lega.

"Eh, eh. Tapi, dia siapa? Kok kamu nggak pernah ngasih tau? Pacar, ya?" Tiba-tiba kekecewaannya berubah jadi kekepoan yang luar biasa.

"Bukan, ah! Kamu tau, kan. Dari dulu aku nggak minat pacaran."

"Terus-terus?"

"Dia itu salah satu murid privatku." Tisa melongo.

"Masa? Kok nggak kayak anak ingusan? Pantes kamu betah ngajar dia. Ganteng banget, sih. Siapa namanya? Kenapa kamu nggak gebet dia aja?" Dasar Tisa. Aku diberondong serentetan pertanyaan tidak penting.

"Apaan sih, Tis. Aku ke sini gara-gara SMS kamu. Ada apa? Katanya ada hal penting?" Tisa segera menepuk keningnya.

"Aduh aku hampir lupa. Gara-gara laki-laki tadi yang mengantarmu. Iya, penting banget. Ayo masuk!" Aku mengikuti langkah Tisa.

"Lila ke mana?"

"Di kamar. Baru aja tidur. Rewel banget, dia," keluhnya. Aku mengintip sejenak bayi mungil yang terbungkus kain itu. Usianya baru dua minggu.

"Jangan diganggu, Nay. Awas kalo dia sampe bangun, ya. Aku susah payah lho nidurin dia," Tisa memberi peringatan keras. Membuatku kembali ke ruang tamu. Tisa muncul dari dalam membawa minuman.

"Ada hal penting apa sih? Kok gawat banget kayaknya."

"Yang pasti kabar baik, Nay. Tapi aku tanya dulu. Kamu beneran nggak ada hubungan sama cowok tadi?" Aku menggeleng.

"Sayang banget padahal, lho. Ya udah. Kembali ke pokok pembahasan. Nay, Kakakku punya temen. Katanya lagi nyari istri. Kalo kamu mau, dia mau taaruf sama kamu. Dia udah liat fotomu. Sekarang tinggal kamu. Ehm ... Tapi fotonya nyusul, ya." Aku tercekat. Seketika jantungku serasa berhenti berdetak.

My Little Student (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang