Pilihanku

5.9K 406 1
                                    

Aku memalingkan wajah ke sisi lain. Agar Tisa tidak melihat mataku yang sudah digenangi air.



"Aku telah memilih yang terbaik."

"Ini bukan pilihan yang terbaik, Nay!" sanggahnya. Aku menghela napas dalam-dalam. Merasakan sesak di dada. Perlahan. Tanpa Tisa ketahui, kuusap titik-titik di sudut mata yang siap meluncur ke pipi.

"Tisa ... apa kamu tau? Terkadang apa yang kita inginkan. Apa yang kita anggap baik, belum tentu baik di mata Allah." Tisa menjentikkan jarinya.

"Nah, itu kamu tau. Belum tentu juga, Nay. Mas Faisal yang menurutmu pilihan terbaik, itu juga baik menurut Allah." Aku mendesah pelan.

"Kok jadi dibolak-balik gini, sih?"

"Siapa tau, kan? Siapa tau Virga yang kamu anggap tidak lebih baik dari Mas Faisal, itu buruk di mata Allah. Bagaimana kalau sebaliknya?" Mendengar omongan Tisa aku sedikit kesal. Kututup kedua telinga menggeleng.

"Pokoknya aku sudah memilih!" tegasku. Tisa mendengus.



"Dasar kepala batu!" sungutnya. "Nay, aku cuma nggak mau kamu nyesel. Menikah itu tidak dipake sehari dua hari. Tapi selamanya. Langkahmu sekarang, akan menentukan kehidupanmu selanjutnya. Aku tidak mau pernikahanmu gagal."

"Aku sudah yakin dengan pilihanku. Dan tolong! Saat ini kepalaku sakit. Aku tidak mau membicarakan ini," aku memegangi tangannya. Memohon agar Tisa berhenti mendebat. Dia akhirnya mengangguk terpaksa. Aku tersenyum, telah memenangkan perdebatan ini.

"Nanti secepatnya aku kabari Kakakku. Agar Mas Faisal segera ke sini," katanya. Aku membalas dengan senyum tipis.

"Ngomong-ngomong, Lila ke mana?"

"Aku tinggal di rumah."

"Ha? Sama siapa?"

"Mas Wildan. Capek kali bawa-bawa bayi naik motor," Tisa mengerucutkan ujung bibirnya.

"Nanti kalo aus gimana?"

"Biarlah. Apa kata Mas Wildan. Hahaha. Dia bisa kok bikin susu sendiri." Aku menggeleng melihat tingkahnya. Sama sekali tidak berubah.

"Benar-benar ibu tidak berperi kemanusiaan!" dengusku. Yang langsung membuatnya semakin memanjangkan bibir.

"Terus berperi apa dong?"

"Berperi, pedih, merana." Aku menyahuti asal. Apa nyambungnya?

"Ciyee. Curhat nih, ye?" Kini giliranku yang melotot. Kulempar ia dengan boneka Beruang. Tisa balas melemparku. Jadilah kami perang. Saling lempar, glitik dan tertawa sampai aku benar-benar lupa jika sedang sakit. Dasar Tisa!

***

Hari-hariku terasa ringan kembali. Tidak ada beban. Tidak ada kegelisahan. Malah aku bisa tersenyum seperti biasa. Menyapa murid-muridku yang hendak pulang sekolah dengan ceria. Berjalan riang, tanpa merasa takut jatuh saat melompati selokan kecil. Aku berharap, semua akan baik-baik saja. Terus seperti ini. Tetap seperti ini. Selamanya ... Sampai mataku menangkap sesosok yang tidak asing, berada di tempat biasa. Senyumku menghilang, begitu kutahu Virga memarkir motornya tepat di depan gerbang.

"Ngapain di sini?" Virga terlihat santai. Tersenyum. Ekspresinya berbeda jauh dengan yang kemarin. Namun kulihat matanya memerah. Mungkin dia kurang tidur? Atau sakit mata? Ah! Singkirkan, singkirkan! Aku harus berhenti peduli padanya.

"Nungguin, Mbak," katanya. Dengan muka polos, seolah tanpa dosa. Aku terperangah.

"Bukankah kamu sudah berjanji untuk tidak mengikutiku lagi?" Anak laki-laki itu membuang pandang ke arah lain. Menggaruk pelipisnya seolah malas mendengar omelanku.

"Sepertinya aku tidak pernah mengatakan itu." Aku mendengus. Memasang tampang galak. Seperti saat aku mengajar, dan menghadapi siswa yang nakalnya minta ampun.

"Sekarang, aku mohon kamu pergi dari sini!" Aku menunjuk ke ujung jalan. Virga tersenyum simpul. Tetap tenang. Tidak terpengaruh nada bicaraku. Lama-lama aku merasa kehilangan wibawa di depannya. Anak ini berubah. Virga yang sekarang bukan lagi Virga yang dulu. Yang setiap kali kusuruh, ia langsung patuh menurut.

"Ini tempat umum kali, Mbak." Dia mengangkat sebelah alisnya. "Semua boleh memarkir di sini. Jadi santai, aja," Virga mengedipkan sebelah mata. Membuatku memasang tampang jutek ke arahnya.

"Tolong berhenti, Vir. Sampai kapanpun perasaanku tidak akan pernah berubah. Dan perlu kamu tahu, aku akan menikah. Aku sudah dilamar seseorang!" Tentu saja aku bohong. Mas Faisal belum melamarku. Tapi akan. Ah tapi, untuk masalah sekrusial ini, semoga kebohonganku diperbolehkan.

"Oh!" Apa? Reaksinya hanya 'Oh?'



"Jadi sudah ada calon? Baguslah." Ia tersenyum. Senyum yang asli menyebalkan.

"Mbak. Sekuat apa pun Mbak menolakku. Sejauh apa pun Mbak menghindar dariku, tulang rusuk pasti kembali pulang ke rumahnya." Dia tersenyum teduh. Aduh, aku jadi bingung harus bersikap sejutek apa lagi. Apa aku kurang jutek?

"Dan ... Seteguh apa pun Mbak memaksa seseorang untuk menjadi jodoh Mbak, seerat apa pun Mbak memeluknya. Tetap. Jika bukan takdir, Allah pasti akan menyelesaikan dengan caranya." Deg! Perkataannya menohok tepat di ulu hatiku. Aku tertegun. Sampai tersadar begitu dia memanggil.



"Hei, Mbak!" Tapi tidak memandang ke arahku. Melainkan ke seorang siswi yang melintas.

My Little Student (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang