Hadiah

5.6K 421 3
                                    

Aku mengambil kerudung dan keluar. Kulihat Virga berdiri membelakangi pintu.

Ragu-ragu, aku berkata, "Ada apa?" Virga membalikkan badan. Hingga kami berhadapan.

"Mbak, aku pengen ngomong sesuatu sama, Mbak."

"Bukannya kamu sudah tau, aku ...."

"Bukan tentang itu. Sekali ini saja."

"Tapi ...."

"Mbak, aku mohon. Setelah itu, aku janji. Akan bener-bener pergi dari hidup, Mbak." Aku berpikir sejenak.

"Ya udah, ngomong, aja!"



"Nggak di sini," katanya. Kulihat matanya menunjuk arah agar aku mengikuti langkahnya.

"Mau ke mana?" Virga tak menyahut. Ia menuju ke gedung yang baru dibangun itu.

"Ini," ia mengambil sesuatu dari balik bajunya. Sebuah map yang ia sembunyikan di dada.

"Apa ini?" Virga memberikan padaku. Aku melongo.

"Jadi kamu yang membeli tanah Pak Haji Munif?" Virga mengangguk. Matanya kembali menerawang ke bangunan belum jadi itu.

"Sebenarnya, aku ingin memberitahu Mbak nanti. Setelah bangunan ini jadi. Tapi ... Waktu semakin lama semakin menipis. Mungkin sekarang saat yang tepat. Ini semua, buat Mbak." Aku hendak berkata-kata. Tapi seolah suaraku tertahan.

"Tolong jangan ditolak. Aku nggak ada maksud apa-apa, Mbak. Selama ini, aku selalu mikir mau ngasih apa buat Mbak. Anggap aja rasa terima kasih," Virga menghela napas berat. Lalu bicara lagi.

"Setauku, Mbak suka banget anak-anak. Nggak mungkinkan aku ngasih anak?" Virga tergelak. Gelak yang berat. Tidak selepas biasanya.



"Makanya aku kepikiran bikin TPA yang deket sama rumah Mbak. Biar Mbak selalu ngeliat anak-anak. Biar Mbak selalu senang." Aku tak sanggup berbicara lagi. Wajahku terasa panas. Seperti ada air yang berusaha mendobrak untuk keluar.

"Vir ...." Aku menggeleng. "Ini terlalu berlebihan."

"Tolong hargai usahaku untuk kali ini. Aku pengen liat Mbak seneng," ia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sapu tangan.

"Sorry," ujarnya. Aku membiarkan ia mengelap wajahku. Yang sudah dibanjiri air mata. Tak sanggup kubendung lagi.

"Mbak kenapa nangis? Tingkahku keterlaluan banget, ya? Aku minta maaf. Aku pikir, dengan begitu aku bisa mempertahankanmu. Tapi tidak. Kita memiliki garis takdir masing-masing. Mungkin jodohku di luar sana. Seperti kata Mbak." Suaranya berganti parau. Matanya nanar. Aku bisa melihat luka itu di matanya.

"Pokoknya Mbak harus bahagia sama Mas Faisal. Jadi pengorbananku ini nggak sia-sia," Virga tersenyum. Sementara aku menangis tertahan.

"Sudah malam, ayo!" Virga mengajakku kembali ke rumah. Ia melangkah lebih cepat di depanku. Kulihat ibu dan bapak keluar rumah berpakaian rapi. Cepat-cepat kuhapus sisa-sisa air mata.

Virga bersalaman. Sekaligus meminta maaf. Aku merasa ia akan pergi jauh. Sangat jauh. Ke tempat yang mungkin tak bisa kudatangi.



"Bapak sama Ibu mau ke mana?"

"Ini mau kondangan. Duh, maaf ya, Nak. Ndak bisa nemenin," ibu menyayangkan. Virga tersenyum manis.

"Saya juga mau pulang, kok, Pak, Bu. Nggak usah repot-repot."

"Ya udah, kami duluan, ya! Nay, buatin minum." Bapak mengakhiri perjumpaan mereka. Aku mengangguk. Kini hanya tinggal kami berdua. Virga menatapku.

"Jangan nangis lagi, ya, Mbak. Lihat Mbak nangis itu rasanya sakit. Lebih baik, melihat Mbak menikah dengan orang lain dan tersenyum bahagia. Daripada harus melihat Mbak menangis. Aku ikhlas. Asal Mbak bahagia." Aku kembali terisak. Isak yang sebisa mungkin kutahan.

"Aku pamit, ya. Jaga diri baik-baik." Begitu Virga hendak melangkah, aku mencegah. "Nggak masuk dulu?"

"Nggak usah. Nanti jadi fitnah. Duluan, ya. Assalamualaikum!" Suaranya semakin parau. Aku ingin melihat wajahnya. Mungkin untuk terakhir kali. Tapi Virga cepat-cepat menjauh. Memasang helmnya. Baru saja ia menghidupkan motor, aku berlari. Berlari menghampirinya.

"Virgaa! Maafin aku!" Tapi motor itu sudah lenyap dari pandangan.

"Maafin aku! Maafin aku, Vir!" air mata mengalir semakin lebat. Aku tak bisa menahan diri lagi. Berlari ke dalam rumah. Masuk dan mengunci pintu kamar. Menangis di sana. Memeluk erat-erat map yang berisi sertifikat tanah itu.

"Vir, maafin aku! Maafin aku, Vir!" Kuciumi map itu sampai basah terkena air mata. Aroma parfumnya masih melekat. Aku memeluknya semakin erat. Seolah itu Virga.

"Vir, andai kamu tahu ... Andai kamu tahu ... Aku ... Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu."

My Little Student (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang