Ukhti, Taaruf, Yuk!

6.9K 464 1
                                    

Aku baru saja pulang dari rumah Tisa. Kulihat di seberang jalan rumah cukup ramai. Ada sebuah pick up dan beberapa orang sibuk menurunkan batako ke tanah lapang itu. Tanah Pak Haji Munif. Beberapa zak semen, dan material bangunan lainnya.

"Sudah pulang, Nay?" Perhatianku teralihkan ke seorang perempuan berbusana sederhana, berdiri di depan pintu.

"Iya, Bu. Assalamualaikum!" kusalami tangan ringkihnya. Ibu menyambut tersenyum. Senyum yang selalu membuatku teduh setiap kali melihatnya. "Pak Haji mau bangun rumah, ya, Bu?"

"Nggak tau, Nduk. Katanya sih mau bangun taman apa gitu."

"Taman?"

"TEPEA, TEPEA gitu. Sulit namanya. Pokoknya tempat ngaji anak-anak. Dengar-dengarnya begitu sih."

"Oh, maksudnya TPA? Taman Pendidikan Al-qur'an?"

"Nah itu!" Ibu membenarkan. Aku hanya membulatkan bibir. Bagus dong. Itu berarti, akan banyak anak-anak setiap harinya.

"Masyaa Allah. Semoga ya, Bu. Nanti, kalo Pak Haji Munif nyari guru, bilang aja Nay bersedia. Nggak usah dibayar. Nay ikhlas." Aku berkata antusias. Ibu mengangguk-angguk paham memintaku untuk masuk ke dalam.

"Ya, wes. Nanti tak salamin langsung ke orangnya." Baik sekali Pak Haji Munif. Mau mewaqafkan tanahnya untuk kegiatan belajar mengajar Al-Qur'an. Semoga beliau diberi keberkahan.

Malam ini, seusai makan malam, aku berjibaku dengan tugas anak-anak. Mengoreksi serta menilai. Entah untuk keberapa kalinya, aku mencoret nomor yang seharusnya benar, tapi aku salahkan. Begitu juga sebaliknya. Aku sampai merasa kembung, setelah minum beberapa gelas air. Tapi masih tetap saja gagal fokus. Jantungku berdegup tak keruan. Bayangan Virga berkelebat. Dia seperti arwah penasaran di film horor yang terus menghantui. Membayangi sampai aku merasa takut sendiri. Aku menyerah. Meletakkan buku-buku tugas itu di meja, lalu pergi ke belakang mengambil wudhu. Kebetulan pas sekali dengan adzan Isya. Aku sholat dan berzikir. Tapi beberapa kali, bayangan Virga seperti menempel di pelupuk mata. Suaranya terngiang-ngiang. Sampai aku merasa hampir gila. Aku istighfar berkali-kali. Sepertinya ada yang salah pada diriku. Mungkin tadi wudhu-ku tidak benar? Atau mungkin ada yang kelewat tidak dibasuh sampai tetap sekacau ini? Kutelisik pengerjaan sholat. Apa aku terlalu terburu-buru tadi saat sholat? Aku tidak yakin dengan sholatku. Sampai melakukan sujud syahwi. Berikutnya aku memutuskan kembali untuk wudhu. Memasang mukena lagi dan mengaji. Entah sudah berapa jam. Entah sudah berapa juz. Sampai kurasakan suaraku serak, nyaris tak terdengar. Aku kelelahan. Ya Allah ... Kenapa aku mengalami kegelisahan hebat seperti ini? Aku mengaji sambil menangis. Tidak tahan. Dadaku berdegup kencang. Sebisa mungkin aku coba mengenyahkan wajah anak kecil itu. Tapi wajahnya terus muncul begitu saja. Begitu aku merasa tidak sanggup lagi menikmati kegiatanku mengaji. Kuputuskan untuk menyudahi. Perlahan, aku terlelap. Dan terbangun begitu suara ibu membangunkanku.

"Jam berapa?" Aku menggeliat lelah. Menyadari posisi diri masih mengenakan mukenah, tidur di atas sajadah.

"Jam 6. Memangnya ndak ngajar?" Aku melotot.

"Apa?"

***

Seharian ini, aku melakukan banyak kesalahan. Aku lelah. Aku capek. Aku ingin pulang. Tapi begitu hendak pulang, kulihat Virga sudah siaga dengan motornya. Jantungku berdenyut lebih gila lagi. Tidak! Mungkin seharusnya aku tidak pulang dulu. Aku tidak ingin menemuinya.

Dua orang siswi melintas. Aku berpesan pada mereka untuk menghampiri Virga dan mengatakan bahwa aku sudah pulang. Kulihat mereka langsung kegirangan dan bersemangat.

Dari balik tembok, kuperhatikan Virga mengangguk mengiyakan. Dan langsung pergi begitu saja. Aku menarik napas lega. Sekarang aku bisa pulang dengan tenang. Ponselku bergetar. Segera kurogoh dari saku. Whatsapp dari Tisa. Ia mengirim sebuah foto. Seorang laki-laki berjubah krem, yang tampak tegar berwibawa dengan wajah bersihnya bersama seorang gadis kecil yang manis.

-Namanya Faisal. Duda anak satu. Usia 32 tahun. Pedagang buah. Faisal ditinggal istrinya 5 tahun lalu tanpa kabar. Saat Fara anaknya masih berusia 2 tahun. Faisal ingin mencari istri yang mau menerima ia, terutama anaknya. Gimana, Nay? Dipikir baik-baik yah. Faisal memberi waktu 3 hari untuk jawaban. Kamu mau nggak taaruf sama dia. Saran aku, mending kamu pikirin baik-baik. Istikharah ya, Nay-

Deg! Jantungku gelisah hebat. Semakin tidak karuan. Seolah kepalaku terpecah menjadi dua. Sisi lain Virga, sisi lain laki-laki ini. Secara usia, tentu dia lebih dewasa. Kelihatannya juga shalih.

"Tin! Tin!" Aku tersentak. Hampir saja ponselku terlempar saking kagetnya. Virga! Anak ini? Bukannya tadi sudah pergi?

"Nah bener, kan! Aku pasti dikerjain. Tadi aku nunggu Mbak. Eh ada cewek-cewek datang. Bilang Mbak udah pulang. Padahal aku nunggu di depan sebelum bel pulang. Aku nggak yakin. Mereka ngajak ngobrol terus. Aku males nanggepin, dan pura-pura pergi deh," terangnya. Aku terbengong.

My Little Student (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang