Kuketuk Pintu Rumahmu

5.6K 406 3
                                    

Kenapa waktu terasa cepat sekali hari ini? Aku berasa ingin berlari dan menghentikannya. Atau menggeser kembali matahari ke ufuk timur. Tapi mustahil. Jadilah waktu itu datang juga. Selepas Isya, kulihat sebuah mobil yang cukup kukenal, parkir di depan rumah. Itu mobil milik Kak Ardi. Kakak Tisa. Sekitar ada 4 orang turun dari sana. 3 laki-laki dan seorang perempuan yang tak lain adalah, Tisa. Tisa berlari lebih dulu memasuki rumah kami. Sambil senyum-senyum menggoda. Tapi aku tak begitu peduli padanya, terlalu sibuk mengontrol diri. Jangan sampai melakukan tindakan memalukan.

Tubuhku panas dingin. Ketika di paling belakang, seorang lelaki berjubah putih, yang Masyaa Allah! Benar-benar jauh lebih tampan aslinya daripada fotonya. Tahu, kan? Definisi tampan bukan sekadar mereka yang memiliki bentuk wajah bagus. Yang kumaksud tampan di sini, adalah kharismanya yang kebapakan. Berwibawa, dan tenang. Wajahnya bersih. Sangat bersahaja. Tinggi dan tegap bak bala tentara yang siap berjihad di jalan Allah. Benar-benar seperti lelaki impianku.

Tak lama, seorang gadis kecil berbusana muslim lari ke arahnya. Tangan besar Mas Faisal menggenggam tangan mungil itu. Itu pasti Fara. Putrinya. Dari caranya memperlakukan Fara, bisa dilihat ia seorang yang penuh kasih sayang. Aku tertegun beberapa detik melihat pemandangan syahdu ini. Mas Faisal menuntun putrinya ke dalam rumah.

"Gimana, Nay. kesan pertamamu?" Tisa dari tadi menenggol-nenggol lenganku. Aku tertunduk malu.

"Tis, jangan malu-maluin, dong!" tegurku pelan sekali. Sebab gerakannya terlalu mencolok. Mana volume suaranya nggak dikecilin lagi. Tisa nyengir.

Bapak mempersilakan masuk mereka. Aku tak sengaja memandangnya. Dan mata kami bertemu. Ya Allah, cepat-cepat aku berpaling ke arah lain. Mas Faisal hanya tersenyum teduh. Begitu damai.

Di ruang tamu, ada dua tempat. Yang terdiri dari satu set meja dan kursi-kursi. Meja pertama dikhususkan untuk para laki-laki. Sedang meja kedua untuk perempuan. Meskipun kami satu ruangan, tetap tidak duduk dalam satu meja.

Kakak Tisa membuka pembicaraan. Dari basa-basi sampai ke maksud tujuan. Lalu mendengarkan kisah pilunya. Tentang kegagalan rumah tangga yang pertama. Istrinya lari bersama salah satu pemasok buah. Tepatnya lima tahun lalu. Saat dirinya tidak begitu berjaya seperti sekarang. Alasan klasik seorang wanita meninggalkan laki-laki karena kehidupan miskin yang tidak mencukupi mereka. Aku terenyuh. Setetes air menetes begitu saja tanpa bisa dicegah. Tapi Mas Faisal terus bangkit. Bersama putrinya ia berkeliling menggunakan becak. Sebagai distributor, ia menjajakan buah milik orang. Sampai akhirnya ia memiliki modal, dan bisa membangun sebuah ruko.

"Jadi bagaimana?" Jantungku berdenyut-denyut tak keruan.

"Kalau saya terserah Kanaya saja," bapak menyahuti. Aku deg-degkan. Suasana begitu tegang, sampai aku merasa bajuku basah kena keringat.

"Aku ...." Belum selesai aku bicara, tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat di pelataran rumah.

"Assalamualaikum!" Suara lembut yang sangat khas terdengar. Aku melihat di pintu, Mbak Dita dan Mas Antok tengah berdiri.

"Nay, mau apa mereka kemari? Apa jangan-jangan ...." Tidak! Tolong! Jangan sampai. Tak kupedulikan bisikan Tisa.

"Loh Mamanya Virga, toh. Mari silakan!" Ibu bangkit dari duduknya mempersilakan. Mbak Dita tampak berdiri pucat menyaksikan keadaan di rumah kami. Di belakangnya Mas Antok tampak tersenyum ramah.

"Wah sepertinya kedatangan kami mengganggu," Mbak Dita berkata tidak enak. Ia tersenyum padaku.

"Tidak kok, Mbak. Mari silakan!" Aku menyambutnya. Tapi Mbak Dita mengurungkan niat untuk bertamu.

"Nggak usah, nanti menggangguk," ia tersenyum teduh. Lalu melongok lagi ke dalam. "Bu, Pak, saya lain kali saja, ya mampirnya. Permisi," Mbak Dita memutar tubuh. Mas Antok tersenyum padaku. "Wah jadi nikah, nih kayaknya?" ujarnya dengan nada bercanda. Aku tersipu. Meski aku belum memberitahu mereka, mereka pasti sudah tahu jika pertemuan semacam ini, membahas tentang keluarga. Kuantar Mbak Dita dan Mas Antok sampai di depan mobil.

"Mbak, sebenarnya ada apa? Tumben kemari?" Mbak Dita yang hendak membuka pintu mobil, mengurungkan.

"Tidak ada. Ingin saja. Oh, ya. Kenapa kamu nggak pamitan sama aku, Nay? Kamu berhenti ya ngelesin Virga?" Aku menunduk. Bingung harus menjawab apa. Mbak Dita tersenyum. Tangannya yang lembut nyentuh kedua pipiku.

"Ya sudah nggak apa. Mbak juga seneng. Akhirnya kamu mau nikah. Jgn lupa undang-undang, ya," pintanya. Memelukku. Erat. Bahkan aku tidak pernah diperlakukan seperti ini. Aku merasa rikuh. Sebab selama ini, hubungan kami hanya sebatas formal saja. Aku juga jarang bertemu dengannya. Yang cukup sibuk. Mbak Dita mengelus-elus punggungku.

"Betapa beruntungnya, laki-laki yang mendapatkanmu," kudengar isaknya. Aku sedikit heran dengan tingkah Mbak Dita.

"Mbak nangis?" Ia melepas pelukannya.

"Terharu. Akhirnya. Penantian panjangmu terjawab." Ia menyeka air di sudut matanya.

My Little Student (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang