Putri Calon Suamiku

5.7K 408 5
                                    

Mobil itu telah lenyap dari pandangan. Sedang aku masih berdiri mematung. Sampai kurasakan sebuah tepukan di bahu. Ibu!

"Ayo, masuk!" pintanya. Dan aku menurut. Masih penasaran dengan tingkah aneh Mbak Dita lagi, aku menengok ke kejauhan. Tempat di mana mobil itu lenyap.

Aku setuju. Kupikir tidak butuh waktu lama untuk pengenalan.

"3 hari lagi. Anak ibu akan dilamar orang." Ibu mengelus rambutku yang tidur di pangkuannya.

"Nduk, kira-kira tadi, Mamanya Virga itu mau apa, ya?" tanyanya kemudian. Justru itu yang sedang kupikirkan saat ini. Sebenarnya apa tujuan Mbak Dita dan Mas Antok datang kemari tadi? Apa terjadi sesuatu pada Virga?

***

Hari ini, aku berharap bisa melihat Virga berdiri di depan gerbang. Tapi untuk pertama kalinya aku tak melihat anak laki-laki itu. Ke mana dia?

Aku bertanya kepada siswa siswi. Siapa tahu ada yang lihat. Mereka hanya menggeleng, tidak tahu.

Apa terjadi sesuatu dengan Virga? Hari ini, kulihat pemandangan yang berbeda. Seorang laki-laki dengan motor metiknya. Bukan lagi motor sport warna merah, menunggu di tempat yang sama. Laki-laki itu bersama seorang gadis kecil. Mas Faisal. Aku tersenyum ke arahnya, menghampiri. Meski rada kikuk dan belum terbiasa.

"Nggak apa-apa kan, Ukh? Kalo saya jemput?" Nada bicaranya yang ramah membuat jantungku berdesir. Aku mengangguk. Mengambil duduk di jok belakang. Bersama seorang gadis, yang sedari tadi diam saja melihatku. Aku mencoba menyapanya. Merebut hatinya. Awal-awal mungkin cukup canggung. Karena kami belum terlalu kenal.

"Ukh, setelah kita menikah nanti, aku ingin meminta sesuatu padamu," ujar Mas Faisal. Begitu kami duduk di bangku taman. Mengamati gadis kecil, yang tengah main ayunan.

"Apa?" Mas Faisal menarik napas. Matanya menerawang ke kejauhan.

"Selama ini, aku selalu bekerja keras. Terlalu sibuk. Sampai mengabaikan Fara. Sepulang sekolah, aku terpaksa membawa ia ke ruko. Ia sendirian. Kesepian. Tidak ada teman bermain. Bisakah Ukhti jadi temannya? Menjadi ibu rumah tangga seutuhnya?" Aku mengernyit. Maksudnya? Bukankah menikah sudah tanda aku akan menjadi ibu rumah tangga? Dan tidak ada seorang ibu yang menjalani setengah-setengah. Sebelum aku bertanya, Mas Faisal melanjutkan kalimatnya.

"Berhenti mengajar, demi Fara," aku tercekat cukup lama. Mengajar adalah jiwaku. Jika aku mengundurkan diri itu berarti .... Perlahan tapi pasti aku mengangguk. Aku tak boleh egois.

"Tapi, Mas. Apa aku boleh menjadi guru privat?" Mas Faisal terdiam sejenak.

"Asal bisa dikerjakan di rumah, aku tidak akan melarangmu," ia tersenyum teduh. Meski sebagian dari diriku, mungkin akan hilang. Tapi tak mengapa. Setidaknya aku masih bisa menyalurkan kegemaranku itu.

Malam khitbah berlangsung lancar. Aku bahagia. Kekhawatiran yang terus menghantuiku tidak terbukti. Semoga dilancarkan sampai hari pernikahan kami. Yang akan digelar seminggu lagi. Lebih cepat, lebih baik. Aku takut terjadi sesuatu, jikalau terlalu lama menunggu.

Siang itu, aku menjemput Fara di sekolahnya. Seperti biasa ia menarik-narikku ke taman tempat abinya biasa mengajak bermain.

"Fara, jangan lari-lari," gadis kecil itu tampaknya terlalu senang. Ia berharap aku mengejarnya. Kami bekejar-kejaran sampai aku merasa lelah sendiri.

"Tante, mau es krim!" Fara menunjuk ke seberang jalan. Berlompat-lompat gembira.

"Tante belikan, ya. Tapi ... Kamu jangan main jauh-jauh. Tetap di sini," Fara mengangguk bersemangat. Gadis kecil berkepang dua itu melompat-lompat dan berlari-lari.

"Fara, jangan lari-lari!" Aku memperingati. Sambil terus memantau dan pergi membeli es krim. Sampai kulihat dari jauh, gadis itu terjatuh, menangis.

"Fara!" Aku buru-buru membayar. Tapi si bapak penjual es krim lama sekali mengambil kembalian.

"Pak, cepet dong, Pak!" pintaku. Bergegas pergi menuju Fara. Tapi, begitu sampai, gadis kecil itu sudah tidak menangis. Malah tertawa bersama seorang pemuda. Virga!

"Itu, Tante!" Fara menunjukku. Yang membuat Virga mengangkat wajahnya menatap padaku.

"Mbak Nay?" katanya. Tersenyum teduh. Aku menyapanya canggung. Tapi fokusku kembali kepada Fara lagi.

"Kamu nggak kenapa-kenapa, Sayang?" Aku mengecek seluruh tubuhnya. Fara menunjuk lutut yang sudah diplester.

"Lukanya sudah ditutup sama Kakak ini," Fara berkata senang. Virga tersenyum. "Jangan lari-lari lagi, ya. Nanti kalo kamu jatuh terus, bisa-bisa di plester seluruh tubuh. Mau?" Fara tergelak. Melihat Virga yang ekspresif.

"Jadi kayak mumi dong, Kak?" Virga mengangguk. Lalu memperagakan bagaimana cara berjalannya mumi. Yang disambut gembira oleh Fara.

"Terus matanya diplester juga, nggak?" Fara bertanya. Bergidik membayangkan. Diam-diam aku tersenyum memperhatikan mereka.


.


"Kalo terluka, boleh aja. Tapi, Fara. Ada luka yang tidak bisa disembuhkan hanya dengan plester." Fara tampak bengong. Menatap dengan rasa ingin tahunya.

"Oh, ya? Luka apa, Kak?"

"Luka hati," sahut Virga. Sambil melirikku.

My Little Student (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang