Dua puluh dua

409 23 8
                                    

"Lepasin tangan gue". Inge Memberontak berusaha melepaskan tangan karel yang menariknya.

"Gue benci sama lo, lepasin!"

Cowok beralis tebal itu tanpa permisi menarik inge dalam pelukannya. Inge terdiam membeku di tempatnya bersamaan dengan detak jantungnya yang berdeguk kencang.

"Maaf". Ucapnya tulus seraya mengeratkan pelukannya.

Tangisan inge pecah saat mendengar permintaan maaf karel. Karel memeluk inge dengan erat bersamaan dengan air matanya yang menetes.

"Maafin aku inge". Ucapnya sekali lagi membiarkan tetesan demi tetesan air matanya menetes begitu saja. Inge semakin terisak dalam dekapan hangat karel dengan hati penuh kelegaan saat mendengar kata maaf terucap dari bibir karel.

"Aku ingat semuanya".

Inge terdiam mencerna ucapan karel lalu melepaskan pelukannya beralih menatap mata cowok beralis tebal itu dengan lekat.

"Ver?".

Karel mengangguk seraya tersenyum  membenarkan dugaan inge. Merasa takdir selalu mempermainkannya untuk bisa mendapatkan kebahagian Inge menundukkan kepalanya yang selanjutnya terdengar suara isakannya yang semakin menjadi melepaskan semua nya.

Inge bangun sayang kamu kenapa?

Dengan pandangan buram masih setengah sadar inge membuka matanya. "Sayang kamu mimpi buruk ya?". Duduk disamping inge yang masih dengan posisi berbaring. Inge kembali memejamkan matanya. Mimpi yang seharusnya terjadi seperti harapan dan keinginannya selalu menghampirinya menjadi bayang-bayang kesakitan dan juga kesedihannya sepanjang waktu. "Inge" Suara oma warsa yang terdengar lirih membuat inge kembali meneteskan air matanya. "Oma.... Hiks hiks". Memeluk punggung oma warsa dengan badan bergetar. Wanita paruh baya itu membiarkan inge mengeluarkan semua beban yang dirasakannya meski menangis tak bisa menyelesaikan segalanya.

"Menangislah cucuku, suatu hari nanti orang-orang yang membuatmu seperti ini akan merasakan hal yang sama sepertimu. Bersabarlah meskipun ini berat". Batin oma warsa mengelus pundak inge lembut.

**********

"Mi, pi, jelasin ke karel sekarang". Duduk menghadap maria dan sanjaya dengan tatapan intimidasi. "Ada apa sayang?". Tanya sanjaya seraya Meminum secangkir teh dengan santai. "El dan el dari panti asuhan mana? Maria membeku ditempatnya, kebingungan harus menjawab apa. Sementara sanjaya juga melakukan hal yang sama. Karel menautkan keningnya heran, mami dan papinya yang dikenalnya banyak bicara justru saat ini tak berkutik sama sekali.

"Kamu ngomong apa sih rel? El dan ellen emang dari panti asuhan. Mana berani mami sama papi ngambil anak orang iya kan pi".

"Hm". Membenarkan namun tak yakin jika karel percaya begitu saja.

"Terus gimana inge bisa kenal el dan ellen?". Uhuk uhuk
Maria menyimpan cangkir tehnya mendengar karel menyebut nama orang yang tak ingin di dengarnya membuat mood nya yang baik menjadi buruk.

"Gak sayang percaya sama mami dan papi. Gadis itu hanya kebetulan mengenal mereka karena pernah tinggal di panti yang sama". Maria kembali bersandiwara.

"Mami dan papi gak bohong kan? Menatap kedua orang tuanya penuh selidik mulai merasa janggal. Jika el dan ellen dari panti asuhan wanita paru baya yang menyuruhnya menjaga el di mall saat itu siapa? Jika mereka dari panti seharusnya anak-anak panti lainnya juga pasti ada di sana bersama mereka dan inge apa sebenarnya hubungan inge dengan anak kembar itu.

Maria dan sanjaya mulai kelingkungam berusaha baik-baik saja. Memiliki seorang anak jenius harus menjadi hambatan bagi keduanya meski itu adalah hal yang harus mereka banggakan. Namun saat ini justru membuat keduanya seperti terperangkap oleh perangkap mereka sendiri.

Verin (vernon & inge) Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ