Ada yang Beda I

18.3K 707 6
                                    

Mungkin memang belum saatnya aku menikah. Untuk yang kesekian kali, pernikahanku gagal lagi.

Terakhir aku mau menikah dengan Iman. Putra kepala desa. Tapi Iman mengalami kecelakaan dan meninggal tepat sebelum ijab kabul.

Keluarganya menyalahkanku. Mereka bilang akulah penyebabnya. Jika saja calon wanitanya bukan aku, pasti semua akan baik-baik saja.

Sebelum ini Veris. Laki-laki yang juga mau menikahiku, meninggal setelah kakinya tertancap paku. Pun sama dengan kelima calonku. Mereka bilang aku terkena kutukan. Mereka bilang aku si pembawa sial. Mereka bilang aku ditakdirkan seorang diri. Tapi aku percaya, hati diciptakan dua keping. Satu keping dimiliko kita, keping yang lain tugas untuk kita mencarinya.

"Jangan-jangan jodohmu belum lahir, Nay!" celetuk Tisa. Teman semasa SMA-ku. Dan kami berteman sampai sekarang.

"Mungkin."

"Sabar, ya, Nay. Jangan dengerin omongan orang," katanya sambil menepuk-nepuk bayinya yang rewel. Aku tersenyum pura-pura tegar. Jujur sebenarnya aku memiliki ketakutan tersendiri. Omongan orang di kampung mulai ramai membicarakanku tentang kutukan itu. Aku takut tak ada laki-laki yang mau meminangku karena terhasut gosip saat ini. Apalagi keluarga Iman sangat berpengaruh. Mereka pasti menceritakan hal-hal buruk yang pernah menimpa keluarga mereka.

"Tis, aku pergi dulu, ya. Ada ngajar hari ini," pamitku. Begitu kutahu jam menunjukkan pukul tiga sore. Tisa mengantarku sampai halaman.

"Jangan ambil pusing omongan orang, Nay. Kita nggak hidup dari mereka," tukasnya. Aku melihat Tisa tersenyum sambil menyalakan motor.

Di depan rumah yang cukup besar, bercat biru kuhentikan motor. Berdiri di pinggir kabar putih menekan bel. Tak lama, kulihat Bi Atun membuka pintu pagar.

"Mari, Neng!" Bi Atun mempersilakan. Aku sudah sangat akrab dengan suasana rumah ini. Begitu masuk, kita akan disuguhi tanaman mawar dengan berbagai warna milik Mbak Dita. Halamannya tidak begitu luas. Tapi penataan yang sangat artistik membuat tempat ini begitu nyaman. Tidak ada tempat kosong yang terbuang. Batu-batu koral yang menghiasi dasar kolam ikan, dan sisinya terdapat ayunan kayu.

Langkahku terhenti di ruang tengah. Tempat di mana keluarga bersantai. Kulepas sendal hingga kakiku yang terbalut kaus kaki menyentuh bulu karpet yang begitu tebal, halus, dan hangat. Duduk di sana menunggu seseorang.

Tak lama kemudian anak laki-laki muncul dari balik pintu. Aku baru menyadari, jika tingginya sekarang hanya berjarak beberapa senti dari kusen.

"Maaf, Mbak. Tadi aku ke kamar mandi dulu," katanya hangat. Virganata Alexander. Remaja 19 tahun, putra dari Mbak Dita dan Mas Antok inilah muridku. Anak itu duduk di depanku bersila. Mengenakan sarung dan baju taqwa mengambil Al-Qur'annya.

"Vir, sebenarnya kamu sudah lancar ngajinya. Lancar banget malah. Seharusnya ...."

"Aku masih mau diajar, Mbak!" selanya cepat.

"Memangnya apa yang belum kamu bisa? Masa sarjana masih butuh guru?" sindirku. Ya, Virga kelewat pintar. Di usianya yang baru 19 tahun ia sudah mendapat gelar sarjana. Setelah lulus SMP, Virga memilih ikut paket C. Meski sempat ditolak mati-matian oleh instansi. Karena usianya masih masuk ke sekolah umum. Tidak perlu kejar paket. Tapi ia bersikeras. Hingga usahanya berbuah manis. Lulus paket C, Virga mendaftar kuliah. Itu yang mengantarkan ia sebagai salah satu sarjana muda.

Aku menjadi guru privat sejak masih kelas 2 SMA. Itung-itung uangnya digunakan untuk bapak dan ibu. Beberapa murid ada yang datang ke rumah. Sebagian juga aku yang mendatangi rumah mereka. Aku mengajar segala mata pelajaran. Begitu aku mau berhenti mengajar Virga, ada saja alasannya. Dia mau diajarin ngaji. Jadilah aku bertransformasi dari guru privat umum ke guru privat ngaji.

"Mbak!" Entah sudah berapa kali Virga melambaikan tangan di depan mataku. Membuatku terpaksa harus menarik diri dari lamunan.

"Ah, iya?"

"Ngelamun lagi," sungutnya. Aku meringis.

"Ya udah, ayo mulai!" pintaku. Virga segera membuka Al-Qur'annya mengaji.

Saat aku hendak pulang, Virga mengantar sampai depan rumah. Jam segini, Mbak Dita dan Mas Antok belum pulang kerja. Anak itu tiba-tiba saja menanyakan sisi pribadiku selama ini yang belum pernah disinggung-singgung.

"Mbak masih sedih, ya. Mas Iman pergi?" Kulempar senyum. Virga menatapku dengan pandangan berbeda. Aku merasa merinding sendiri. Segera kubuang pandang ke arah lain.

"Nanti enggak, kok." Aku tak bisa berbohong. Rasanya sakit begitu melihat kenyataan kalau aku gagal menikah.

"Mbak jangan sedih, ya. Mungkin ada jodoh yang lain. Yang dikirimkan Allah nanti," tukasnya. Dengan nada dewasa.

"Laki-laki lain. Aku misalnya?" Seketika aku tercekat mendengar pernyataannya. Kami saling pandang untuk waktu yang lama. Tatapannya kini berbeda. Bukan lagi tatapan seorang murid yang menghormati gurunya. Tapi tatapan seorang laki-laki pada wanitanya.

My Little Student (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang