|14. Tangan yang Tak Tergapai|

554 77 8
                                    

Dari kejauhan, dia memerhatikan lamat-lamat. Kedua orang yang ia perhatikan sedang tertawa. Dia tersenyum tipis, membalikkan badannya, melihat tawa dua orang yang ia sayang sudah cukup untuk menutupi luka-lukanya.

Ia menabrak seseorang.

"Ups, sorry." Suara itu, ia amat mengenalnya.

Gadis itu mendesah melihat seseorang yang ia tabrak.

"Minggir," ujarnya.

"Lo yakin sama keputusan lo, Sel? Ngebiarin mereka berdua dan nanti akhirnya ngebiarin Valent ninggalin Magenta seperti dia ninggalin kita?"

"Sst. Kali ini kondisinya beda. Gue yakin mereka nggak bakal ninggalin satu sama lain, Dar."

Kalimat Radar selanjutnya membuat Gisella menghentikan langkahnya.

"Dan darimana lo tahu mereka nggak bakal saling meninggalkan? Dan bagaimana kalau nantinya justru mereka berdua yang sama-sama jatuh dalam kegelapan? Demi apa pun sel, kalo lo ngebiarin mereka berdua, dan Magenta yang bakal jadi korbannya, demi tuhan lo nggak bakal lepas dari gue meskipun kita udah sahabatan lama."

"Demi tuhan juga Radar, gue nggak bakal ngebiarin Valent ninggalin Magenta seperti dia ninggalin kita! If he did it, I'll punch him right in his face. But that's not the point, Dar. Gue cuma mau lihat gimana sikap mereka setelah ini. Remember this, luka tidak selamanya buruk."

Gisella berlalu, bahu gadis itu menyenggol Radar agak keras. Pemuda itu menghela napasnya, ia tidak mengerti dengan hal-hal yang direncanakan oleh Gisella. Saat pertama kali masuk ke SMA ini rasanya semua sudah kacau. Niat Radar awalnya untuk pindah adalah karena Gisella, Radar tidak akan sanggup membiarkan Gisella berada di sekolah yang sama dengan Valent. Lantas pemuda itu langsung mengurus kepindahannya. Tetapi saat tiba di sini, gadis itu jutru sedang menjalankan sebuah rencana gila. Membiarkan dua hati terluka milik Valent dan Magenta untuk berteman membuat Radar hilang akal. Karena yang Radar tahu, pada akhirnya mereka hanya akan saling meninggalkan dan saling menggoreskan luka.

Luka tidak selamanya buruk?

Omong kosong. Omong kosong saat i
Radar mengingat Valent kecil yang bahagia berubah menjadi Valent yang menakutkan dalam ingatan Radar.

●•●•●

"Aw!" Radar mengusap dahinya yang baru saja terkena pukul sebuah penggaris.

"Bro, lo kalo ngeliatin cewek jangan segitunya." Niko, teman sebangkunya memperingatkan. "Yang ada lo ngebuat semua cewek kabur. Dan lihat siapa yang lo perhatiin? Magenta? Gila!"

Radar merebut penggaris milik Niko, lalu memukul dahi cowok itu. Niko meringis lalu memiting kepala Radar di ketiaknya.

"Bau sialan!" umpat Radar. "Lepas nggak!"

Niko tertawa puas, lalu melepaskan pitingannya.

"Dar, lo aneh akhir-akhir ini. Lo selalu ngeliat ke bangkunya Magenta, mengumpat, melamun, tiba-tiba marah-marah ke gue yang gue nggak tau alesannya. Lo kenapa sih?"

Jawabannya? Radar sendiri tidak tahu. Yang pasti, tiap kali ia melihat Valent dan Magenta bersama, tangannya selalu gatal untuk meninju Valent atau pun menarik Magenta untuk menjauh dari Valent.

"Nggak apa-apa, Nik. Emosi gua emang suka aneh. Biarin aja kalo gue udah gitu, nanti juga sembuh sendiri."

"Lo suka sama Magenta?"

Radar menggeleng.

"Terus cemburu ngeliat Magen yang akhir-akhir ini deket sama Valent?"

Radar menggeleng lagi.

"Justru gue khawatir. Dia udah jadi bahan pembicaraan satu sekolah. Dan satu sekolah nggak ada yang suka sama Magenta. Di mata mereka Magenta cuma cewek sombong yang tiba-tiba deket sama cowok sepopuler Valent. Dan Valent? I don't trust him to take care of Magenta."

Niko menepuk bahu Radar. "Satu-satunya yang bisa lo lakuin cuma deketin Magen. Dan buat dia percaya sama lo. So, you'll be able to protect her."

Sejak saat itu perkataan Niko selalu berputar di benak Radar. Tetapi jika ia melakukan semua hal itu, bagaimana dengan Gisella? Saat tujuan Gisella adalah untuk membuat Valent dan Magenta untuk berteman, di sisi lain Radar justru menentang keduanya.

Radar memukul meja kesal. Lalu beranjak ke luar kelas. Ia butuh udara segar. Niko memanggilnya, tapi Radar tidak menghentikan langkahnya. Niko hanya bisa mengejar di belakang, memastikan Radar tidak melakukan hal yang aneh.

"Dar, tenang. Lo cuma ngerasa kalo lo nggak mau ngebiarin seseorang tersakiti lagi gara-gara sahabat lo sendiri, Valent. Itu doang. Nggak ada yang lebih. Dan itu sebuah niat baik kan? Nggak ada yang salah dengan itu, hanya Gisella yang salah." ujar Radar pada dirinya sendiri.

Niko yang berada di belakangnya hanya terdiam. Ada rahasia yang Radar simpan bersama Valent dan Gisella yang melibatkan Magenta. Niko berupaya melupakan apa yang sudah ia dengar, jelas-jelas ia tidak berhak untuk mengetahuinya.

●•●•●

"Lo sekelompok bahasa Inggris sama gue." Radar tiba-tiba menghampiri meja Magenta.

Gadis itu bergeming.

"Besok sabtu, jam 3 di rumah lo. Gue, lo, dan Niko."

"Jangan di rumah gue."

"Rumah gue jauh, rumah Niko banyak kucing, gue alergi kucing. Tinggal rumah lo doang."

Magenta menimbang. Rumah Radar bukan pilihan yang tepat. Rumah Niko? Magen tidak suka kucing. Rumahnya sendiri? It's all mess. Tetapi setidaknya dari seluruh pilihan, memang rumahnyalah yang paling memungkinkan.

"Oke. Hari sabtu, jam 3."

"Sampai bertemu besok." Radar pun berlalu. Ia kembali ke mejanya. Lima menit kemudian, Pak Joko masuk, kelas pun dimulai.

Magenta mengambil sebuah buku matematika dari tasnya tepat ketika matanya menangkap sebuah novel di dalam tasnya. Ia mengambil novel itu dari dalam tasnya, novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Hamka. Tiba-tiba saja air langsung matanya menetes, Magenta tahu betul siapa yang memberikannya. Ia tahu betul siapa yang tahu betapa ia menginginkan novel itu.

Gisella.

●•●•●

Halo. Maaf ya updatenya cuma dikit.
Komen dong apa aja yang mengganjal dari cerita ini biar bisa kuperbaiki. Terima kasih!

AkustikWhere stories live. Discover now