|6. Payung Biru|

2.2K 212 61
                                    

BAGIAN KEENAM
~
|Payung Biru|
~

Kalian terlalu menyalahi takdir, bahwa ada beberapa hal yang tidak bisa manusia lakukan sendiri.

~

Valent tidak tahu mengapa langkah kaki membawanya menuju taman belakang sekolah. Sebenarnya, apa yang ia harapkan dengan berkunjung ke sini?

Ia menghentikan langkahnya. Lekat-lekat memandang pohon akasia yang beberapa daunnya berguguran ditiup angin.

Ia menggaruk kepalanya frustrasi. Membalikkan badannya, menuju kantin--suatu hal yang jarang sekali ia lakukan.

Kantin riuh, berisik, ramai. Coba sebutkan kata apa lagi yang tepat mendeskripsikannya? Begitu banyak alasan untuk tidak pergi ke sana dan tidak ada salah satu pun dari alasan itu yang mengubah pikirannya saat perutnya sudah berkata lapar. Biasanya saat istirahat ia memakan bekalnya di kelas, tapi hari ini bekal itu telah tandas sejak pagi tadi.

Baru beberapa langkah Valent memasuki halaman kantin, para siswi langsung senyap, kemudian bisikan-bisikan menyusul setelahnya.

Valent memesan bakso. Mendapatkan tempat duduk di sudut kantin. Setidaknya tempat itu lumayan sepi untuk menghabiskan makanannya dibandingkan tempat lainnya.

Meja panjang itu kini diisi oleh dua orang. Valent duduk di ujung meja sebelah kiri dan seseorang gadis--yang Valent yakini adalah Magenta--duduk di sisi lainnya.

Rambut yang biasanya Magenta urai kini terikat rapi ke belakang. Membiarkan wajahnya yang biasanya tertutupi oleh rambut terlihat oleh orang lain, termasuk Valent.

Valent meniup-niup mangkuk baksonya. Perlahan mencicipi kuahnya dan seketika lidahnya terasa terbakar. Dia meringis. Segera meminum air mineralnya. Ia terus melakukan hal itu berkali-kali: makan-meringis-minum, sehingga membuat Magenta susah payah menahan tawanya. "Nggak bisa makan panas?" tanyanya pada Valent.

Tatapan mereka sejenak bertemu. Lekas Valent meminum air mineralnya lagi. Valent menggeleng sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Lo dan penggemar lo sama-sama berisik, ya?" ujar gadis itu.

Valent mengedikkan bahunya. "Penggemarz, Genta. Kamu tahu kan kaidah huruf z? Kalau nggak tahu sini kuberi tahu. Artinya tidak, bukan, atau, ah, terserah. Pokonya hal-hal yang mirip kata-kata tadi. Oke?" Ia meniup baksonya lagi. Tidak peduli.

Magenta bangkit dari duduknya, sekaligus membawa makanannya, mendekat ke arah Valent. Ia duduk di hapadan pemuda itu.

Merebut paksa sendok milik Valent, tangan gadis itu mulai memotong beberapa bakso di mangkuk Valent lalu menyodorkannya pada Valent. "Kalo lo niup mangkoknya satu jam juga ga bakal kelar. Pake sendok. Lo tahu sendok kan?" katanya sambil meniru nada bicara Valent, "Ini namanya sendok," ujar gadis itu sambil menjulurkan sebuah sendok tepat di depan wajah Valent.

Pemuda itu tecenung. Menatap sendok yang Magenta sodorkan. Berkedip beberapa kali.

"Ambil sendoknya," ujar Magenta memperingatkan. "Terus tiup. Gitu aja kok susah."

Valent melakukan seperti apa yang diperintahkan. Bibirnya tidak bisa untuk menahan sebuah senyuman melengkung dari bibirnya. "Whoa. Saya harus les makan sama kamu."

"Gue udah selesai." Magenta bangkit dari duduknya. "Lain kali mending jangan duduk di sini, lo berisik. Dan gue nggak buka tempet les makan. Oke?"

Valent menatap punggung kecil itu mulai berjalan menjauh. Rambut gadis itu ia biarkan terurai kembali, membiarkan helaian rambutnya menutupi sebagian wajahnya. Membiarkan apa pun yang ada dalam dirinya sebagai garis batas, tembok imajiner yang ia dirikan kokoh demi melindungi dirinya sendiri. Valent terdiam sejenak. Baru saja ia menyadari, gadis itu selalu menunduk saat berjalan.

AkustikWhere stories live. Discover now