|15. Belenggu yang Indah|

591 76 19
                                    

Magenta menatap kosong novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck yang berada di tangannya. Hatinya terasa teriris berkali-kali. Ia ingat dulu sekali Gisella pernah menjanjikan novel itu padanya, tapi itu dulu sekali, saat hubungannya dengan Gisella masih baik.

Gadis itu mengusap wajahnya, menghela napas berat. Ia akan bicara dengan Gisella senin besok dan ia akan mengganti uang gadis itu.

Pintu rumah Magenta terketuk dua kali. Gadis itu segera meletakkan novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, lekas beranjak. Ia melirik jam dinding, waktu menunjukkan pukul tiga lewat. Magenta mengira, ia akan menemukan Valent saat ia membuka pintu, tetapi yang berdiri di sana bukanlah Valent yang ia harapkan. Radar berdiri di hadapannya dengan cengiran khas miliknya.

"Radar?"

"Jam 3 kerja kelompok. Lo lupa? Kaget gitu? Ngira gue Valent ya?"

Magenta menyangkal. "Nggak gitu. Sorry gue bener-bener lupa."

Pemuda itu segera masuk tanpa diperintah. "Valent sering ke sini?" tanyanya saat sudah duduk di atas sofa.

Magenta tidak berupaya menjawab pertanyaan itu sampai Radar bertanya kembali. "Valent sering ke sini?"

"Kadang."

"Dia bakal ke sini hari ini?"

"Nggak tahu."

Radar mendesah.

Sebenarnya setelah kejadian malam itu, Valent kerap mampir ke rumah. Entah untuk hanya duduk saja menemani Magenta yang merenung atau mengobrol hingga larut malam. Magenta sadar, saat ia mulai mengenal Valent lebih jauh, Valent bukan pemuda dingin yang ia temui beberapa sebulan yang lalu, Valent bukan lagi Valent tak berperasaan yang bertengkar dengan Radar beberapa minggu yang lalu.

"Valent udah bukan Valent dingin yang mukul lo sampe berdarah waktu itu kok, Dar."

"Yang mukul gue bukan Valent. Dia cuma cowok brengsek. Valent nggak gitu."

Magenta terdiam. Diam-diam ia memperhatikan air muka Radar. Gadis itu sadar ada banyak hal yang Radar ketahui tentang Valent. Mungkin termasuk tentang luka-luka yang Valent tutupi untuk dirinya sendiri.

"Valent ... lo tau tentang luka-lukanya?"

Radar mengusap wajahnya. Ia mengeluarkan laptop dari dalam ranselnya. "Gue ke sini buat ngerjain tugas kelompok. Dan mana Niko? Anak itu bener-bener deh kalo telat." Tatapan Radar beralih ke arah Magenta. "Bisa tolong hubungi Niko?"

"Gue nggak punya hp."

Radar menatap Magenta. "Ha?"

"Gue nggak punya hp," ujarnya sekali lagi.

Radar tertawa kecil. "Pantes lo nggak mau ngasih gue nomor telepon."

Magenta tertunduk. Sedangkan Radar mengambil ponselnya dari saku, menghubungi Niko. Niko baru datang satu jam kemudian langsung mendapat hadiah pitingan di ketiak dari Radar.

"Nik, Nik. Jangan makan terus. Bantuin gue." Radar melirik Niko dengan kesal sedangkan jari-jarinya terus mengetik.

Niko berhenti melahap kue yang Magenta berikan kepadanya. "Apa? Kan ada Magen. Kok gue?"

"Ya karena kerjaan lo daritadi makan terus!"

"Gue mau sering-sering ke sini, Dar. Kuenya enak. Boleh nggak?"

"Nggak boleh. Bantuin gue!"

Niko beranjak, memperhatikan layar laptop dengan seksama. Keningnya berkerut memikirkan sesuatu. Sebelah tangannya meraih kue lagi. Radar merebut kotak kue itu membawanya menjauh dari Niko. Niko cemberut sambil melanjutkan tugas bahasa Inggris sedangkan Radar duduk di ujung sofa, sibuk memakan kuenya.

AkustikWhere stories live. Discover now