|4. Meradang|

2.3K 237 14
                                    

BAGIAN KEEMPAT
~
|Meradang|
~

Aku belajar untuk tidak mengeluh akan rasa sakit. Bukankah rasa sakit itu justru menandakan bahwa kita masih hidup?

~

Usai pulang dari tempat les musik, Valent membawa langkah kakinya ke halte yang terletak di sebrang tempat lesnya. Hari sudah malam, kemacetan sudah menyeruak sejak pukul empat. Polusi suara di mana-mana. Sebelum memasuki angkutan kota berwarna merah yang terlihat masih tersendat, sambungan telepon terhubung pada neneknya.

"Halo, assalamualaikum, Nek. Valent ke rumah sakit ya? Iya, iya, nanti cepat pulang kok. Hati-hati di rumah, Nek. Valent matikan ya? Iya ... Valent nggak lupa ... waalaikumsalam."

Tiga hal yang Valent benci di dunia ini. Ditinggalkan, rumah sakit dan warna putih. Ketiganya selalu berkaitan. Dan berada di lorong sepi bernuansa putih kini rasanya seperti memasuki neraka yang Valent buat sendiri.

Valent benci rumah sakit. Bukan tanpa alasan. Sebab, di tempat ini ia melihat seseorang yang merupakan seluruh hidupnya pergi.

Menelusuri lorong yang sepi, langkahnya terhenti tepat di depan sebuah pintu kaca buram. Dalam satu tarikan napas, ia membuka pintu itu. Mau tak mau ia harus menghadapi momen ini.

Dokter Rama tersenyum ke arahnya. Valent membalas walau sedikit terlihat memaksakan. Omong kosong, mana bisa dia tersenyum di tempat seperti ini?

"Silakan duduk, Valent. Sudah lama, ya?" Dokter yang berwajah bersahabat itu menyambut Valent dengan baik.

Valent mengangguk kecil, lekas duduk. "Bagaimana, Dok?"

"Sebelum saya menjelaskan keadaan Nyonya Viana apakah kamu tidak ingin melihat kondisinya terlebih dahulu?"

"Tidak. Cukup katakan saja...."

"Setelah percobaan bunuh diri yang dia lakukan dulu ... keadaan pasien sudah mulai stabil dan beberapa minggu kemarin sudah sadar dari komanya. Nenekmu sudah menjenguk pasien kemarin. Namun hari ini saya mendapat kabar bahwa pasien sejak kemarin mulai mengalami stress...," dokter itu menghela napas panjang, "pasien kerap sekali berteriak, menangis, menyebut nama Harlan, mungkin alangkah baiknya jika kamu sebagai anaknya membawa seseorang yang bernama Harlan itu?"

Tubuh Valent serta-merta menegang. Tenggorokannya tercekat, seolah ia tak akan bisa mengeluarkan suaranya lagi. Dalam-dalam ia menghirup napas, mencoba menormalkan seluruh tubuhnya yang menegang. Mencoba menenangkan sesuatu yang berada di dalam hatinya untuk tidak meledak. Mencoba untuk tidak meloloskan segala kesedihannya. Mencoba apa pun untuk menjadi kuat kemudian mampu membalas pertanyaan itu.

"Ah nenek pasti menceritakan penyebab ibu saya mencoba melakukan percobaan bunuh diri kepada dokter. Harlan sudah meninggal, Dok. Beberapa tahun yang lalu. Dia juga yang membuat ibu saya sedemikian rapuhnya."

Hening.

Dokter Rama memijit keningnya. "Maaf sekali. Bagaimana kalau kamu berkunjung, Valent. Mungkin saja ibundamu akan merasa lebih baik?"

"Mungkin saja, Dok. Nyatanya yang ada di otak bunda saya hanya Harlan--ayah saya--dan sekarang sudah meninggal."

"Saya sarankan padamu, Valent. Sebaiknya kamu menjenguk ibundamu. Saya benar-benar khawatir dengannya. Ia kerap sekali melepas infus dari tangannya, kabur ke halaman rumah sakit hanya ingin mencari Harlan. Setidaknya dengan kehadiranmu, mungkin dia bisa melupakan Harlan untuk sejenak."

Valent menghela napas berat. Ia ingin bertemu bunda. Namun jika bertemu, ia tidak tahu ingin berkata apa. Dan juga ... Valent takut jikalau pertahanan yang ia bangun selama ini bisa saja serta-merta runtuh hanya dengan melihat wajah ibunda yang begitu ... menyedihkan?

AkustikWhere stories live. Discover now