|2. Dia Redup|

4.5K 333 68
                                    

BAGIAN KEDUA
~
|Dia Redup|
~

Percayalah, dulu kepercayaannya utuh sebelum jatuh di tempat yang salah.

~

Ini sudah yang kesekian kali ia menghela napas berat. Otaknya tengah beradu, namun tatapannya terlihat kosong, memandang lurus ke bawah menembus ketinggian sekian meter dari atas tanah.

"Lo lagi mikir apasih? Ngelamun terus," ujar seseorang dari balik punggungnya.

Magenta--gadis yang terdiam sedari tadi--menoleh ke arah Gisel, menatapnya sebentar lalu mengalihkan pandangannya kembali.

Gisel menaikkan sebelah alisnya. "Lo mikir apa?" ulangnya.

"Sel, apa rasanya kalau aja gue jatuh dari ketinggian ini?" Di bawahnya terlihat lautan mobil di tengah kemacetan kota Jakarta.

Angin bertiup agak kencang, sekarang bukan hanya karena angin bertiup yang menyisakan dingin, tetapi percakapan mereka. Karena merasa terganggu, Gisella mengikat rambutnya terlebih dahulu sebelum memulai kalimatnya kembali. Ia menghela napas sebentar, bangkit dari duduknya. "Lo bicara aneh-aneh lagi. I'm with you, Ge. I will never let you down. I promise you."

Magenta tertawa. Tidak tahu kenapa, ia hanya merasa lucu. Ada banyak janji yang pernah ia dengar, jadi sangat sulit untuk memercayai salah satunya apa lagi setelah fakta tentang masa lalu yang selalu menempatkannya dalam posisi terendah. "Terima kasih, Gisella. Tapi, gue bener-bener penasaran."

"Kesekian kalinya lagi gue bilang lo nggak beda jauh dengan dia. Ngomong ngelantur terus." Gisella mengikuti arah pandangan Magenta.

"Dia siapa?" Dahinya berkerut.

"Lo tahu, Magenta, setiap gue bertanya apa pun jawaban lo simpel 'nggak tahu'. Tapi dia, bener-bener kayak kopian lo. Bedanya, dia lebih menyebalkan, amat sangat menyebalkan. Kadang gue nggak ngerti jalan pikirannya. Gue nyaris gak yakin dia bakal punya pacar." Wajah Gisella terlihat teramat sebal, namun setiap berbicara tentang dia matanya selalu terlihat ber api-api. Seolah-olah ini adalah topik favoritnya. Dan mau tidak mau, Magenta harus mendengar.

Dia suka sekali dengan kereta. Hobinya tidur, tidak peduli kondisi ramai ataupun sepi. Plus suka sekali mengoleksi kata-kata pedas. Perangainya memang buruk pada teman sebayanya, tapi lebih banyak lagi kebaikan yang Gisella ceritakan tentangnya.

Magenta membalikkan badannya. "Biar gue tebak, ini tentang mantan temen lo yang sering lo ceritain? Cowok itu 'kan?"

Gisella mengangguk.

Sayangnya, Magenta tidak terlalu tertarik dengan arah pembicaraan ini. Gadis itu langsung meraih tas dan tangan Gisel, mengajaknya untuk turun dari rooftop. "Dikit lagi hujan, kita gak mungkin basah-basahan di sini."

Gisel hanya tersenyum, tebakannya benar. Magenta tidak pernah tertarik berbicara segala hal yang menyangkut cowok. Ia selalu pintar mengalihkan topiknya. Seolah ia memang tidak mau tahu.

"Ge, seberapa bencinya sih lo sama yang namanya cowok?" Gadis itu terus mengikuti Magenta dari belakang, menatap lekat-lekat punggung kecil temannya. Seolah ingin mencari kebenaran di sana.

Magenta tidak membalas, terus melanjutkan langkah kakinya menuruni tangga hingga sampai di lobby. Gerak-geriknya sekarang terlihat seperti memantapkan hatinya untuk memulai berbicara.

Dengan satu tarikan napas dan helaan panjang, Magenta mulai mengeluarkan suaranya. "Dengar, Gisella. Ini udah pertanyaan ke empat puluh ... semenjak kita berteman," dia meletakkan kedua tangannya di bahu Gisel, "dan gue nggak pernah menjawab. Oke, gue jawab kali ini, Gisel. Tapi, jangan sekali-kali lo nanya kenapa? Gue gak akan menjawab pertanyaan itu. Kalo lo nanya seberapa? Coba hitung berapa tetes hujan yang jatuh di permukaan bumi. Sebesar itu, Gisel. Sebesar itu kebencian gue. Mereka itu selalu berkata kebohongan."

AkustikWhere stories live. Discover now