|7. Tekad Dalam Hati|

1.1K 139 31
                                    

BAGIAN TUJUH
~
|Tekad Dalam Hati|
~

Bagiku manusia yang benar-benar hidup adalah mereka yang masih memiliki tekad dan harapan. Jika musnah keduanya, itulah definisi kematian yang cocok untukku.

~

Bola mata Valent melirik arloji di pergelangan tangannya. Pukul setengah enam. Kelas masih sepi. Belum ada yang datang kecuali dirinya. Ia melemparkan tasnya ke atas kursi, melepaskan jaket hitamnya, meletakkannya sembarang, dan barulah ia duduk.

Pemuda itu terdiam. Pandangannya lurus, memandang tali sepatunya yang terlepas. Ia menunduk, mengikat tali sepatunya. Di sanalah matanya menangkap sebuah payung biru teronggok di kolong meja,

beserta secarik kertas.

Thanks buat payungnya.

Walaupun begitu, Javier--adik gue--tetap bersikeras ngundang lo untuk makan malam, lusa.

Katanya, "Terima kasih udah minjemin payung untuk Kak Magen-ku."

Dengan suara tawa yang tertahan, Valent melipat kembali kertas itu. Ia menemukan alamat rumah di balik kertas itu.

Valent meraih payung biru miliknya, lalu berlari ke luar kelas. Tergesa, mencari Magenta.

Dia pasti sudah datang 'kan?

Berkali-kali Valent menjulurkan kepalanya ke dalam ruang kelas yang sepi. Namun, belum ada satu pun yang datang. Tidak ada satu pun tas yang ia temukan. Seluruh ruang kelas masih gelap, belum ada lampu yang dinyalakan.

Valent mengerutkan dahinya. Bertanya-tanya ... lantas siapa yang menaruh payung ini ke mejanya? Dan juga ... kenapa Magenta tahu tempat duduknya?

Dia kembali berlari. Napasnya terdengar menderu saat menyusuri koridor yang sepi, menuruni tangga, berbelok di ujung koridor lantai dasar.

Valent menghela napas panjang saat berhenti di dekat taman belakang sekolah. Magenta sedang duduk di sana, berseragam lengkap dan masih membawa tasnya.

Gadis itu tepat duduk di bawah pohon akasia, sama seperti kali pertama Valent bertemu. Ia memeluk lututnya, sebelah tangannya bebas menggoyangkan beberapa rumput liar di sekitarnya.

Wajahnya yang pucat masih dapat terlihat meski rambut menutupinya. Gadis meringis, mengacak rambutnya. "Aah, Javi ... kakak bisa gila. Tahu tidak?" Wajah gadis itu memelas, lalu menundukkan kepalanya kembali.

"Ini namanya bunuh diri bukan?" gumamnya tanpa mengangkat kepalanya.

Valent beringsut mendekat. Berupaya agar langkah kakinya tidak terdengar. Baru berjalan lima langkah, Magenta sudah menyadari kehadirannya.

"Stop. Lo diem di situ." Gadis itu segera bangkit lalu bersembunyi di balik pohon akasia.

Valent tidak peduli. Ia melanjutkan langkah kakinya.

"Gue bilang diem di situ!" Nada suaranya meninggi.

Valent mengerutkan dahinya. Enak saja Magenta memerintahnya.

"Berhenti!" pekik gadis itu.

"Memangnya saya hantu?" jawabnya pelan.

"Valent..."

"Ya?"

Magenta mendesah frustrasi. "Lo mau ngapain sih nyamperin gue?"

Valent berhenti. Kini ia tengah berdiri di bawah pohon akasia. Melirik Magenta yang berada di baliknya. "Cuma mau bilang," dia berjalan lagi menghampiri Magenta untuk melihat wajah gadis itu lebih jelas, "makasih undangan makan malamnya."

AkustikWhere stories live. Discover now