|1. Dalam Sebuah Kebetulan|

7.5K 492 126
                                    

BAGIAN PERTAMA
~
|Dalam Sebuah Kebetulan|
~

Aku tidak mengerti bagaimana cara takdir bekerja. Kadang singgah dalam sebuah kebetulan yang seringkali dijumpai, seringkali juga dilupakan. Hingga pada akhirnya kami sama-sama tidak menyadari bahwa hal itulah yang sering kami sebut dengan takdir.

~

Cerah. Itu perkiraan cuaca tadi pagi yang Valent saksikan di televisi, tetapi sekarang kota Jakarta malah diselimuti oleh awan kelabu yang enggan hilang, menandakan sebentar lagi hujan akan datang.

Hujan.

Hujan selalu mengingatkannya dengan sesuatu yang bernama kenangan. Tak pernah ada yang salah dengan kenangan, tak pernah ia berniat untuk menghapus bagian itu dari hidupnya. Karena kenangan di dalam benaknya adalah sepaket rasa bahagia dan lara, sepaket bunga mawar merah yang berduri. Tak bisa dimungkiri, ia tak bisa menghilangkan salah satunya.

Valent melirik arlojinya, sudah pukul tiga lewat, namun ia masih berada di luar rumah. Seragam SMA-nya masih betah melekat saat ia tiba di Stasiun Kereta Gambir.

Stasiun kereta terlihat penuh sesak oleh orang-orang. Jika dipikir-pikir tidak akan ada penumpang yang menyukai suasana berjubel seperti ini, kecuali mungkin para pedagang atau pun para orang-orang yang mempunyai tangan usil. Tetapi, Valent juga suka keramaian stasiun, suara derap langkah yang terburu-buru ingin mencapai rumah untuk sesegera mungkin pulang menemui keluarga mereka. Sama sukanya pula dengan suara mesin kereta yang kini terdengar samar di telinganya. Beberapa menit kemudian, suara roda besi yang bergesekan dengan kerikil mulai terdengar jelas. Dan berlabulah kereta yang akan Valent tumpangi. Kali ini lagi-lagi kereta menjadi sarananya untuk kabur.

Duduk dekat dengan jendela merupakan pilihan sangat tepat bagi Valent. Rintik hujan kini tengah sibuk memukul-mukul jendela kaca saat kereta telah melaju meninggalkan stasiun. Tak lama, rintik itu digantikan oleh hujan dan petir yang lumayan lebat.

Seseorang mulai mengisi tempat di sampingnya. Valent menoleh sedikit, tanpa sadar bertemu pandang dengan sepasang bola mata jernih.

Dia terpaku, untuk beberapa saat. Dengan kikuk ia mengalihkan tatapan pada ponselnya. Menatap benda persegi panjang itu kosong. Butuh sepuluh menit ia termenung, hingga ia memutuskan untuk tidur. Ia meraih jaketnya, namun tersangkut.

"Permisi, Mbak. Jaket saya kedudukan," kata Valent pada gadis yang masih memakai seragam SMA lengkap di sampingnya.

Gadis itu menoleh. Ia menutup novelnya kemudian berdiri membiarkan Valent mengambil jaketnya.

Merasa dirinya mulai mengantuk, Valent menguap, menutupi seluruh wajahnya dengan jaketnya. Tertidur. Suara kereta yang beradu dengan rel kini bagai dongeng pengantar tidur yang acapkali ia dengar dulu.

Tidurnya tak mendapat gangguan selama sekitar satu jam hingga ponselnya berteriak--meminta untuk diangkat.

"Assalamualaikum," ujar seseorang di telepon.

"Waalaikumsalaam."

"Valent di mana, Nak?" Suara di sebrang sana terdengar amat cemas, deruan napasnya terdengar tidak teratur.

"Valent di kereta, Nek."

"Astaga, Valent mau kemana? Jangan kabur-kaburan begitu, Valent. Kakek bisa marah-marah sama nenek lagi."

"Cuma jalan-jalan ke Bandung, setelah itu Valent balik kok. Nenek tenang aja, ya. Valent udah besar, bilang begitu juga sama kakek. Kalo nenek dimarahin, bilang ke Valent. Ntar Valent yang ngomong."

AkustikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang