Airlann: Janji sebelum Mati

2.8K 217 40
                                    

"Apa yang harus aku lakukan?"

Airlann memandangi seorang kakek yang terbaring di tempat tidur. Dalam sebuah kamar luas, namun kosong. Hanya ada dua orang di sana, ditemani oleh lukisan dan hiasan dinding. Perasaannya bercampur aduk dan tidak bisa dideskripsikan, hanya satu yang dia bisa lerai, kesedihan.

"Katakan, apa yang harus aku lakukan bila kamu pergi, Yehi?"

Dadanya terasa sakit membayangkan kehilangan, seperti terhimpit oleh beban yang tak terkatakan, membuat air matanya menggenang. Mulutnya kering dan terasa kelu tapi dia tetap memaksakan diri untuk berbicara.

"Kamu adalah yang terakhir hidup di antara kita," lanjut sosok yang terlihat seperti anak enam belas tahun. "Bahkan dengan segala hal yang aku lakukan, kamu tetap akan mati dan meninggalkan aku sendiri."

Dia kembali diam, dapat merasakan Maut berjalan mendekat. Berpuluh-puluh tahun, Airlann berhasil memanjangkan umur sahabatnya, namun fisik yang melemah ditambah dengan jiwa yang letih membuat Yehi akhirnya menyerah dan memilih untuk beristirahat, meninggalkan satu-satunya pahlawan yang tersisa dari Great War seratus tahun silam, sang penguasa angin.

"Tetap hidup, Airlann," ucap kakek renta dengan gemetar. Matanya berkedut menahan tangis. "Apapun yang terjadi, tetap hidup."

"Kamu memberikan padaku sebuah tugas yang mustahil," balas gadis itu dengan suara bergetar menahan tangis. "Satu-satunya hal yang kuinginkan adalah beristirahat."

Sunyi kembali menggantung berat. Sebelum suara lemah kembali terdengar, terbata.

"Tetap hidup. Bertahanlah hingga suatu saat kamu dapat mati sebagai manusia ...."

Airlann tidak menjawab, mata hijaunya memandang ke arah Yehi yang terbaring lemah. Wajahnya dipenuhi keriput dan tulang pipinya menonjol, namun wibawa dan kharismanya sebagai pemimpin tetap ada. Bahkan sisa-sisa ketampanannya masih terlihat di balik rambut yang panjang dan memutih. Masih segar dalam ingatannya, dia dan Yehi bertempur sebagai satu tim. Bersama dengan Crest Bearer lainnya, mereka memusnahkan para Necromancer dan setelahnya memburu Soul Eater.

Waktu yang berlalu adalah musuhnya, menunjukkan perbedaan dasar dirinya yang bukan lagi seorang manusia dengan teman-temannya yang menua. Airlann membenci hal itu dan iri akan istirahat yang mereka peroleh, sementara dirinya terjebak dalam tubuh yang sama. Ketika satu per satu dari teman-temannya meninggal, dia berusaha mempertahankan Yehi, sahabat terdekatnya, teman sejiwa. Namun, orang seperkasa Yehi pun kalah. Tidak ada yang menang melawan takdir.

"Jaga keturunanku, jaga pakta yang sudah kita buat. Jaga dunia ini." Yehi berusaha meyakinkan gadis itu untuk tidak menyerah, berusaha meraih tangan yang terkepal erat menahan emosi.

Sentuhan Yehi membuat Airlann lebih rileks. Dibiarkan tangannya di tarik ke atas kasur beralaskan kain putih untuk digenggam erat. Rasa sakit kembali melilit hati Airlann, tangan yang dulu kokoh memegang pedang dan menebas musuh, kini tinggal tulang berbalut kulit, genggaman terkuatnya hanya terasa seperti remasan anak kecil. Airlann tahu, Yehi sudah mencapai batasnya dan sebentar lagi dia akan pergi, setelah bertahan demi menemani dirinya. Seluruh orang seangkatannya telah pergi, menikmati istirahat yang menjadi hak mereka.

"Tetap hidup, Airlann. Sampai kita bertemu lagi."

Dengan berat hati, Airlann mengangguk. Air mata yang selama ini dia tahan akhirnya menetes. Bagaimana pun juga, dia tidak ingin Yehi meninggal dengan rasa khawatir. Seberat apapun kehidupan di hadapannya, Airlann akan tetap hidup, demi Yehi.

"Berjanjilah."

"Aku berjanji," gumamnya dengan bibir gemetar. "Aku berjanji akan tetap hidup, semengerikan apapun hal yang akan terjadi." Airlann menutup mata, membayangkan kesendirian dan perjuangan tanpa akhir melawan Soul Eater. "Aku akan tetap hidup sampai tiba saat aku akan mati sebagai manusia, menjaga semua hal yang sudah kita perjuangkan. Menjaga pakta, menjaga anak-anakmu, menjaga dunia."

Seulas senyum samar muncul di wajah Yehi. Ada kelegaan terpancar di sana.

"Terima kasih dan maaf."

"Aku tidak pernah menyesal menggantikanmu menjadi abadi, Yehi." Airlann akhirnya tersenyum tipis. "Sesuai sumpah, hidupku aku abdikan padamu."

Yehi menatapnya dalam. Ada perasaan yang tidak terucap, ada kata yang tertahan. Sebuah hal yang tidak pernah bisa dia katakan walau seratus tahun sudah berlalu. Sebagai gantinya, dia menarik tangannya dan menyentuh pipi Airlann, menghapus air mata.

"Sampai jumpa lagi."

Gadis itu mengangguk. "Sampai jumpa lagi."

Waktu terhenti. Tangan Yehi menggantung di udara sementara suara-suara lenyap. Airlann menarik napas dan menangis, sementara sebuah bayangan hitam mensejajarinya dan tanpa berkata apapun menyentuh tubuh Yehi. Sebuah bola cahaya berwarna emas keluar dan digenggam oleh sebuah tangan pria berumur dua puluhan.

"Dia sudah pergi," ucap bayangan itu.

"Kamu tidak tahu betapa aku ingin menebasmu dengan Soul Wind, Takuto." Airlann tetap menatap tubuh Yehi yang kaku, air mata terus menetes di pipi. "Apapun agar kamu tidak mengambil jiwanya."

Pria itu menghela napas lalu tersenyum miring. "Aku hanya melakukan tugasku. Jika kamu tidak menghalangiku, lima puluh tahun lalu dia sudah kuambil," katanya sinis. "Setelah ini, apa yang akan kamu lakukan?"

Airlann tidak menjawab. Dia sedang tidak ingin berdebat dengan Maut, makhluk itu akhir-akhir ini makin sering bertemu dengannya dan berbicara hal yang tidak perlu.

"Aku akan datang lagi," katanya sebelum menghilang.

Waktu kembali berjalan dan tangan Yehi jatuh terkulai bersama dengan napas terakhir yang keluar dari hidupnya. Sesaat, gadis itu hanya diam, memandangi jasad yang tergeletak seakan tertidur dan berusaha mencerna bahwa Yehi telah benar-benar pergi.

Perlahan, kesadaran bahwa kini dia sendirian menindihnya, membuat air mata kembali mengalir. Gemetar, gadis itu meraih tangan Yehi dan menggenggamnya sebelum dikecup khidmat, seperti yang sudah dilakukan sejak dia bersumpah setia pada pahlawan itu. Airlann melipat kedua tangan keriput itu di atas dada kurus berbalut baju putih lalu mengecup kening yang perlahan mendingin.

"Aku akan tetap hidup," bisiknya terakhir kali, terdengar seperti janji, sebelum berdiri tegak dan beranjak keluar, memberi tahu kabar duka kepada dunia.

* * *

Sedikit fragmen tentang Airlann dan Yehi. Aku menikmati menulis mereka dan iya, hubungan Airlann dan Takuto awalnya tidak akrab. Mereka memiliki kisahnya sendiri hingga mereka bisa seperti di Reminiscentiam.

Well, ini bisa dibilang serpihan untuk sekuel dari I'mmortal Series: The Great War. Aku terbiasa membuat cerita-cerita pendek sebelum memulai sebuah proyek besar :D

Btw, Remini akan diterbitkan :D kapan dan bagaimana, stay tune!

[Sudah Terbit] I'mmortal Series: Reminiscentiam [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang