Aeila: Akhir yang Lain

2.2K 225 41
                                    


"Little bird fly away from home
Spread its wing far high above
'till someday it find a song
to be heard called love."

Lagu itu terdengar jauh dalam ingatannya. Sebuah irama lama yang tiba-tiba saja terngiang membuatnya teringat tentang kisah-kisah lampau. Pemuda berambut hitam itu duduk sambil memeluk lututnya, dibiarkan untaian panjang rambutnya jatuh tak beraturan menutupi mata gelap yang awas. Mata yang memandang ke arah satu titik di ruangan itu.

"Kamu belum tidur?" tanya sosok yang sedari tadi dipandangnya, duduk bersandar pada tembok retak, bersembunyi di balik bayangan.

Illa menggeleng pelan. "Tidak, aku tidak mengantuk."

Lawan bicaranya tersenyum lemah. "Biasanya aku yang mengamatimu hingga tertidur."

Pemuda bergaris wajah lembut itu ikut tersenyum, sebuah senyum nostalgia namun juga perih. "Iya. Aku dulu tidak benar-benar ingin tidur. Kamu ingat? Saat pertama kali kamu menemukanku di jalanan, aku menunggumu tertidur supaya bisa kabur darimu."

Orang di hadapannya tertawa. "Aku akhirnya berpura-pura tidur dan kamu lari meninggalkan aku."

"Tapi toh, kamu menemukanku tepat saat aku nyaris dibunuh. Kamu ... menyelamatkanku, Eibie." Illa memandangi penyelamatnya dengan tatapan lembut dan senyum terima kasih.

"Ah, sudah berapa lama ya?" Dia bertanya lebih kepada dirinya sendiri.

"Tiga ratus lima puluh tahun, Eibie." Illa menjawab. "Sudah tiga ratus lima puluh tahun sejak saat itu. Aku tidak akan berada di sini bila kamu tidak menolongku saat itu "

"Tapi aku membuatmu menjadi immortal." Mata coklat itu memancarkan kesedihan. "Kamu menanggung hal yang tak seharusnya."

"Jika itu bisa melepaskanmu dari penderitaanmu, aku tidak keberatan." Illa kembali tersenyum menatap Eibie. "Kamu yang mengajariku tentang kehidupan, menunda takdirku hingga aku siap. Tak terhitung waktu-waktu yang kamu tahan agar aku bisa hidup sebagai manusia sedikit lebih lama."

Bulan purnama bergerak naik makin tinggi di langit, menyibak gelap, menyinari sebagian wajahnya yang tertimpa bayangan dari tembok di belakangnya, menampilkan sebuah senyum yang dihiasi oleh darah yang mengering di ujung bibir. "Terima kasih, Illa. Tanpamu aku tidak akan bisa mendapatkan hal ini. Terima kasih dan maaf karena membuatmu menanggung keabadian seorang diri."

Pemuda kurus itu bangkit dan berjalan ke samping Eibie, duduk di sampingnya.

"Maafkan aku yang egois," tambahnya dengan suara serak.

"Kamu berhak mendapatkannya, Eibie. Setelah malam-malam panjang yang harus kamu lalui sendiri tanpa tertidur, ini saatnya kamu mendapatkan istirahatmu."

Eibie mengistirahatkan kepalanya di bahu Illa. Rambut coklat panjangnya dibiarkan terurai kusut menjadi tirai di matanya yang terasa berat.

"Terima kasih, Illa. Terima kasih." Dia berkata pelan dan khidmat. "Aku tak tahu bagaimana untuk membalasmu."

Illa tersenyum namun hatinya terasa makin perih. Dia tahu waktunya makin menipis. Sosok di sampingnya tidak akan bertahan lebih lama. "Biar aku mendengar lullaby itu sekali lagi, Eibie. Lagu pengantar tidur yang kamu nyanyikan sampai aku terlelap."

Eibie tertawa kecil. "Baiklah ...."

Illa tersenyum ketika mulut itu melantunkan sebuah melodi lama, sisa-sisa dari ingatannya yang paling lampau. Saat dia masih kanak-kanak, terbungkus dalam selimut dan pelukan hangat. Dia mengingat lagu itu sebagai tempatnya untuk pulang, tempat teraman di seluruh bumi. Dalam dekapan tangan halus milik penjaganya. Illa menutup mata, menyesap kenangan itu lebih dalam.

"Little bird fly away from home
Spread its wing far high above ...."

Dia mendengar dirinya tertawa dalam tawa anak kecil, memakai baju lusuh namun merasa bahwa dia memiliki segalanya selama Eibie berada di sampingnya. Hatinya terasa hangat, itu adalah waktu-waktu sebelum dia tahu betapa berat beban yang dipikul oleh sang Penjaga, waktu-waktu yang tak pernah kembali ketika dia beranjak dewasa.

"'till someday it find a song ...
to be heard called ... love ...."

Suara Eibie memelan hingga menghilang. Kepalanya terkulai di bahu Illa. Napas terakhirnya lolos menimbulkan desahan panjang dan lemah, tanda bahwa kehidupan telah pergi meninggalkannya. Illa menoleh dan mengusap pipi Eibie. Wajah gadis itu begitu damai walau ada bercak-bercak darah di sana.

"Selamat tidur," ucapnya tersenyum dengan sisa kekuatan sebelum sebutir air mata turun sebagai tanda perpisahan. "Kali ini aku yang mengantarmu terlelap." Satu air mata lagi turun, disusul dengan yang lain. Tak butuh waktu lama hingga wajahnya basah. Dia terisak, lama sekali, sebelum tangisnya mereda dan dia memiliki kekuatan untuk berkata,

"Selamat tinggal."

Illa mengangkat kepala Eibie sebelum dia berdiri, lalu meletakkannya dengan lembut di lantai batu. Sekali lagi dia mengusap pipi yang kini terasa dingin. Bulan naik lebih tinggi dan mengusir sisa bayangan, menunjukkan sebuah pedang menembus tubuh kecil gadis berambut coklat itu. Darah merembes ke lantai membentuk genangan. Illa bangkit dan mencabut pedang tersebut, lembut dan penuh hormat, menyarungkannya kembali.

"Kita akan berjumpa lagi di akhir masa."

________________________________

Cerita ini pernah dipublish di 52 Weeks dengan tema "Cerita di bawah Purnama" hahahahha

Ini bisa dibilang prototype dari Reminiscentiam. Hanya saja di sini hubungan Illa dan gurunya tidak seintens cerita berserinya. Hubungan mereka di sini murni guru dan murid dengan cinta platonik di antara mereka. Aku suka chemistry mereka di sini.

Anggap saja ini sebuah alternate ending.

Aku msh berusaha menulis tentang Takuto :3 harap sabar yah hahahahaha

[Sudah Terbit] I'mmortal Series: Reminiscentiam [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang