EPILOG

2K 204 164
                                    

Ketika aku membuka mata, aku mendapati diriku terbaring memandangi langit malam yang suram, hitam tanpa bintang. Sekelilingku sunyi dan hembusan angin dingin menyapa kulit.

"Sudah bangun?" Sebuah suara yang familier menyapa.

Ah, aku pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya. Terbangun dan disambut oleh Maut. Kuhela napas dan mendudukkan diri. Hanya saja kali ini aku berada di tengah kota, gedung-gedung pencakar langit mengelilingiku dan alih-alih padang rumput, aku duduk di atas paving batu bermotif. Suasana di sekitar sepi, hanya ada beberapa pejalan kaki yang baru saja menyelesaikan lemburnya. Lampu jalanan memberikan cahaya yang cukup walau suasana tetap redup.

"Bagaimana dengan kepalamu?" tanya Takuto lagi, dia berjalan mendekatiku. "Apa perlu kupukul supaya kamu sadar?"

Aku mengabaikan ocehannya, masih berusaha menata pikiran. Semuanya masih terasa seperti mimpi buruk yang panjang. Dimensi yang rusak, ceceran darah, dan sentuhan dingin dari tubuh Eibie .... Aku menggenggam tanganku dan masih merasakan kehangatan yang perlahan menghilang. Kututup mata, berusaha mengusir perasaan tidak nyaman. Mungkin itu benar-benar hanya mimpi, aku berusaha mencari pembenaran. Kematian Eibie, darah yang mengaliri tanganku, semuanya tidak nyata. Saat ini dia mungkin sedang menungguku kembali dan aku akan sekali lagi melihat senyumnya.

"Mau ke mana?" Dia bertanya ketika aku berdiri.

"Pulang."

Takuto mengerutkan alis. "Ke mana?"

Aku menghela napas dan menoleh ke arahnya. "Tentu saja ke tempat Eibie berada."

Raut wajah Takuto seketika berubah menjadi kaku.

Aku mendengus. Ada apa dengan dia? Biasanya, Maut akan berubah ceria ketika nama itu disebut dan selalu membuatku kesal. Apa dia tidak tahu kalau rasa sukanya pada istriku terlihat jelas? Tidak mengindahkannya, aku meneleportasi diri langsung ke menara sambil tak sabar untuk melihat Eibie duduk menunggu sambil membaca buku seperti biasa. Mungkin juga dia sedang meramu sesuatu. Hatiku dipenuhi rasa rindu yang membuat senyum mengembang. Ingin sekali aku merengkuhnya dalam pelukan dan mengecup keningnya, lalu akan kukatakan betapa aku mencintainya.

Ketika sekelilingku berubah menjadi tumpukan batu berwarna gelap, aku segera berlari menaiki tangga, membuka pintu kayu dan memanggil namanya.

Kosong.

Kamar itu dingin, seakan sudah lama tidak ditinggali. Tidak ada bola-bola cahaya yang selalu meneranginya di kala malam. Aku berjalan masuk, menolak bisikan kenyataan bahwa orang yang kucari tidak akan pernah kutemui lagi. Tidak menyerah, aku membuka pintu bawah tanah, tempat di favoritnya, di mana dia bisa melihat koleksi artefak dan mencoba sihir baru. Setengah berlari aku menuruni tangga. Semuanya masih sama seperti yang aku ingat, lemari-lemari yang berdiri tegak berisi berbagai macam hal dan aku tahu, di ujung labirin kecil ini aku akan menemukan dia, berdiri membelakangiku lalu aku akan mengejutkannya dengan memeluk ....

Kosong.

Tidak ada siapa pun di sana. Tidak ada dirinya yang menungguku. Kesedihan merambat pelan di dalam dada seiring dengan kenyataan yang menghantamku tanpa ampun. Aku berusaha menghibur diri, mungkin saat ini dia sedang pergi, menyelesaikan urusannya entah apa, tapi dia akan pulang dan aku akan terus menunggu. Alasan apapun untuk mengusir suara-suara di kepalaku, berkata bahwa dia telah pergi, tapi memori yang menyeruak menjelaskan segalanya. Satu per satu ingatanku terulang, momen-momen terakhirku bersamanya terputar lagi.

Gontai aku berjalan maju, meraih kursi kayu tempat dirinya biasa duduk dan menyandarkan dahiku pada meja. Masih ada sisa wanginya di sana membuat hatiku dibelit sedih. Aku bahkan tidak berani membayangkan dirinya untuk menuntunku berteleportasi, karena aku tahu ... yang kudapati hanyalah kekosongan. Dia sudah tidak ada di dunia.

[Sudah Terbit] I'mmortal Series: Reminiscentiam [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang