Chapter 2

8.8K 865 298
                                    

Inggris, 1489

Anak itu berlari sekuat tenaga di antara rumah-rumah kayu dan tanah becek. Dia tidak peduli baju wolnya dikotori oleh cipratan tanah dan mendorong setiap orang yang dilewatinya, di antara keramaian Radcot, kota kecil terletak tak jauh dari hulu sungai Thames. Seruan serapah mengikuti kemana pun dia pergi, tapi dia menulikan telinganya dan terus berlari hingga tiba di kawasan kota yang lebih elit. Tanah di bawahnya berganti menjadi susunan batu berwarna pudar, memberi pijakan yang lebih baik daripada tanah berlumpur karena hujan kemarin.

Setelah yakin pengejarnya tertinggal, anak itu berbelok ke salah satu sudut bangunan bata milik orang yang lebih kaya dan bersembunyi dibalik tong anggur kosong dari kayu. Napasnya terengah namun bibirnya menyunggingkan senyum kemenangan. Sekali lagi dia menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada orang di sekitarnya. Setelah yakin, dia mengeluarkan sebuah kalung dengan liontin berlian dari saku. Senyumnya melebar, menertawakan kebodohan seorang gadis bangsawan yang bersimpati. Dia hanya perlu memasang wajah termanis dan Si Bangsawan mendekat tanpa pertahanan sehingga dia dapat merampas kalung emas itu.

Dia menggantung kalung itu di tangan, menikmati sinar matahari yang memantul di sana. Dengan ini dia bisa makan enak selama beberapa hari. Anak berusia sepuluh tahun itu memegangi perutnya yang kosong dan berisik. Dia harus segera mencari orang yang mau membayar mahal untuk benda itu dan membeli makanan. Membayangkan sup dengan asap mengepul dan sepotong roti sudah membuat air liurnya menetes-netes.

Dia memasukkan kembali kalung itu ke sakunya ketika menyadari bahwa bayangan besar menutupinya. Firasat buruk langsung datang. Anak itu mengangkat kepalanya.

"Kamu pikir kamu bisa kabur, bocah?!"

Seorang pria besar berkepala botak menghalangi jalannya. Anak itu menoleh mencari jalan keluar lain dan mendapati bahwa rekan Si Botak berjalan mendekat ke arahnya sambil memainkan pedangnya. Dia menelan ludah menyadari bahwa dia sudah terjepit.

"Kembalikan kalung milik Nona kami," ancam si Botak dengan suara kasarnya. "Mungkin kami akan berbaik hati melepasmu."

Anak itu mundur hingga punggungnya menempel pada tembok rumah. Para pengejarnya mendekat perlahan. Dia seperti tikus yang terpojok. Kalau dia menyerah sekarang, dia akan mati kelaparan. Well, mati kelaparan atau mati dipukuli, dia tidak ingin memilih salah satu. Pikiran nekat melintas di benaknya. Dia melempar benda itu tinggi-tinggi, membiarkan cahaya matahari terpantul di sana. Ketika seluruh mata teralihkan darinya, anak itu melarikan diri dari celah di antara kedua kaki Si Botak. Kedua pengejarnya berebutan mengambil benda yang terlempar itu sementara Sang Anak sudah berlari menjauh sambil tersenyum menang.

"Brengsek!!!" umpat Si Botak ketika menyadari bahwa yang ditangkapnya adalah pecahan baju zirah.

Anak itu menoleh ke belakang melihat hasil tipuannya, tidak melihat ada orang yang menghadangnya.

Brak!

Dia menabrak seseorang dan terjungkal ke belakang. Tahu-tahu saja dia diangkat hingga kakinya tidak menyentuh tanah.

"Lepaskan aku!!!" Anak berambut hitam kusut itu berontak, namun sia-sia. Lawannya menatapnya bengis, badannya kekar setinggi dua meter dan dipenuhi bulu, mirip seekor Gorila.

"Mati kamu, bocah laknat!" Si Botak menghantam perut anak itu. Seketika rasa sakit menyerang ulu hati, saraf-sarafnya memberontak, meminta kesadarannya hilang agar dia tidak perlu merasakan sakit, tapi anak itu menolak. Jika dia pingsan sekarang, mungkin dirinya tidak akan terbangun lagi.

Si Botak merogoh saku anak itu dan menemukan apa yang dia cari. "Dasar bocah! Ini akibat kamu mencuri dari bangsawan."

Si Botak itu meludahi wajah Si Anak. "Hajar dia!"

[Sudah Terbit] I'mmortal Series: Reminiscentiam [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang