Chapter 34

1.1K 181 104
                                    


Bodoh.

Aku akan menjadi Noxis pertama yang mati.

Tubuhku jatuh dan menghantam tanah. Ketika aku hendak menyerah sepenuhnya pada gelap, sebuah suara terdengar nyaring.

"ILLA!!!"

Mataku terbelalak lebar begitu mendengar suara itu, rasa sakit di dadaku kembali berdenyut, tapi kesadaranku kembali. Aku meneleportasi diriku pergi tepat waktu, pedang besi milik Eibie menghantam tanah. Sesaat aku diam, mengamati gadis itu menarik pedangnya dan berjalan ke arahku. Rasa sakit perlahan memudar, luka di dadaku menutup. Untunglah tidak terkena titik vital. Pikiranku berputar-putar, nama itu terdengar familiar, terlebih lagi dengan suara yang memanggilnya.

Aku butuh waktu untuk menyusun kembali pikiran yang kacau.

Sambil terengah, aku meneleportasi diriku lagi, kali ini ke balik gedung, berharap mendapat detik-detik yang berharga. Sambil bersandar ke tembok, rasa sakit di kepalaku makin menjadi, terlebih lagi hatiku, walaupun luka akibat pedang di dadaku telah tertutup sempurna.

Apa yang harus aku lakukan?

Ada seseorang yang menantiku. Entah bagaimana aku tahu. Itu berarti aku tidak boleh mati sampai aku mendapatkan kebenarannya. Kilatan demi kilatan memori menyeruak masuk. Tidak ada visual, tapi aku dapat merasakan perasaan hangat dalam benakku. Kebersamaan, kebahagiaan, dan cinta. Ada suara tawa yang menimbulkan rasa rindu, ada harum yang membuat seluruh sarafku merasakan sebuah pelukan. Aku tersenyum lembut, hatiku dilingkupi oleh selaput damai. Ada sesuatu yang mengusik, sesuatu yang berharga, sesuatu yang menguatkan hatiku untuk melakukan hal paling menyakitkan. Aku menimbang sejenak, apakah aku sanggup melukai gadis itu demi ingatan manis yang terkubur?

Kupejamkan mata erat-erat, menyingkirkan segala keraguan yang masih menggantung. Aku harus membulatkan tekad, walau hatiku masih terasa ngilu membayangkan tanganku akan mencabiknya. Kucengkram dadaku erat, untuk menguatkan diri. Aku harus melakukannya dan aku harus hidup.

Tiba-tiba getaran dahsyat menjalar di tanah, membuatku melompat mundur untuk menjaga jarak. Tindakan yang tepat, karena sedetik setelah aku menjauh, bangunan tempatku berlindung hancur menjadi serpihan. Secara reflek, kuarahkan tangan ke depan, menggerakkan setiap bongkahan batu agar tidak menindihku. Di antara celah bebatuan, sosoknya melayang mengancam, hanya sekejap terlihat, sebelum dia menghilang dan muncul di sampingku, siap menebaskan pedang. Sepersekian detik berikutnya, senjata kami beradu. Aku bertatapan mata dengan iris hijau yang berkilat tajam, lagi-lagi rasa ragu menyusup, aku pernah berhadapan dengannya sebelum ini. Namun, kukeraskan hati dan balas menyerang.

Aku berteleportasi ke sampingnya dan menebaskan pedang secara horizontal. Dia menunduk, lalu membalas dengan mengincar kakiku. Aku melompat mundur sambil menggerakkan angin dengan sihir. Sebuah tornado raksasa membungkus hingga dirinya hilang dari pandangan. Aku tahu itu tidak akan bertahan lama, bagaimana pun lawanku adalah penguasa angin.

Sebentar, bagaimana aku tahu?

Pikiran itu menggantung begitu saja, karena sesuai dugaan, angin buatanku terlerai dengan cepat. Ini belum berakhir, selagi dia berusaha mengatasinya, aku sudah mempersiapkan pilar api dan sebagai pamungkas, kugerakkan tanah membentuk kubah di sekeliling gadis itu, mengunci gerakannya bersama dengan api yang menghanguskan.

Untuk sesaat keadaan hening dan jantungku berdetak keras, berharap dia benar-benar mati tapi juga berdoa agar dia selamat. Aku menggelengkan kepala, dia harus berakhir di tanganku, demi ingatan yang kucari. Mungkin ada makna kenapa kami terjebak ke dalam pertarungan ini.

Satu lambaian tangan dan tombak-tombak angin muncul mengelilingi kubah batu itu, berputar mengancam. Aku menghela napas sebelum menggerakkan jari telunjuk, memerintahkan puluhan tombak menghujam dari segala arah.

[Sudah Terbit] I'mmortal Series: Reminiscentiam [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang