Lagi-lagi dia dihadang beberapa anak-anak nakal yang kemarin menganggunya. Ternyata mereka belum kapok juga.
"Orang miskin kayak lo nggak usah belagu."
"Dasar mentel!"
"Sialan!"
Kesabaran Arlan sudah habis. Berani-beraninya mereka mengatakan kata-kata tidak sepantasnya. Apalagi sepantaran anak kecil seperti mereka.
"Gue kan udah bilang, jangan ganggu dia!"
Anak yang menganggu Zelin tersenyum sarkastik. "Pacar lo ya?"
"Bangsat lo!"
Arlan langsung menghantam gila mereka satu per satu sampai lebam. Mereka mengangkat tangan lalu berlari kencang.
Arlan ingin mengejar anak-anak itu, namun diurungkan karena teringat dengan anak perempuan di belakangnya.
Arlan menoleh ke belakang sekilas. Wajahnya begitu muram dan sendu. Berbeda pada saat mereka bertemu untuk pertama kalinya. Arlan sedikit terkejut ketika melihat anak perempuan itu dari dekat. Dia ... benar-benar Zelin.
Zelin masih hidup. Arlan masih bisa menghela napas lega karena sang papa tidak membunuh anak lucu tidak berdosa ini.
"Lo nggak papa, kan?"
Arlan melihat kepalan tangannya begitu kuat. Giginya jadi ngilu, takut Zelin malah menyakiti dirinya sendiri.
"Kamu nggak usah ikut campur," sahut anak perempuan itu lalu meninggalkan Arlan tanpa berkata apapun.
Arlan terkaget. Ini bukan Zelin. Zelin yang dia kenal tidak begitu dingin seperti ini. Arlan bingung dengan sikap Zelin padanya. Namun tak menampik kenyataan bahwa hatinya senang melihat Zelin baik-baik saja.
Perlahan, Arlan membuntuti Zelin pulang. Saking sibuk matanya melihat Zelin, tanpa sengaja Arlan membuat isi tong sampah berserakan. Beruntung lingkungan di situ sedang sepi.
Namun anehnya, Zelin tidak menyadari keributan yang diperbuatnya. Arlan mengernyit kebingungan. Entah apa yang sedang Zelin pikirkan sampai tidak sadar dengan yang terjadi di sekitarnya.
Setelah tahu tempat yang ditinggali Zelin, Arlan meninggalkan tempat itu.
. . .
Seorang anak kecil yang sedang memakai mahkota layaknya seorang putri di atas kepalanya, mendekati Arlan yang masih asyik memainkan game yang ada di ponselnya.
"Abel kenapa?"
Arlan bertanya karena anak perempuan itu menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
"Itu, Abel mau coklat, cuman nggak dikasih Eja."
Eja yang dimaksud di sini adalah adik tirinya, Feza.
Arlan mendekat lalu mengelus rambut Abel. "Ya udah, biar pangeran yang ambil coklat buat tuan putri ya."
"YEY! Arlan ambilin coklat buat Abel!"
Abel berteriak kegirangan, membuat adik tiri Arlan mendelik kesal. Sepertinya anak itu memang sengaja untuk membuatnya sebal.
"Makasih, Pangeran Arlan," ucap Abel dengan suara yang dikeras-keraskan.
Arlan menggosok tangannya di atas rambut Abel sebelum pergi ke dapur. Abel memang sering bermain ke rumahnya. Tak apalah, dengan adanya dia, Arlan tidak perlu meladeni adik tirinya yang songong itu.
Abel memang dekat dengan siapa saja, bahkan dengan adik tirinya. Namun kalau dibilang membela siapa, sudah pasti dia akan membela Arlan, pangerannya.
YOU ARE READING
Diary Of an Introvert (REPOST)✔
Teen FictionFollow @ranikastory on Instagram. Diary Series [1]: Ini aku dan kisahku yang selalu dianggap berbeda hanya karena diriku seorang introvert yang hidup dalam dunia ekstrovert. Aku membenci diri dan hidupku hingga satu per satu kejadian menyadarkanku a...
📓Side Story #3
Start from the beginning
