"Lo gila?! Terakhir gue nginep itu waktu awal-awal SMA. Setelah itu hubungan gue sama dia merenggang."
Aku menggigit bibirku, tak tahu harus berucap. Ingatanku kembali pada saat Rifen dan Arlan beradu di sekolah. Aku ingin sekali bertanya keterkaitan Rifen, Arlan dan Racha. Tetapi, kuurungkan niatku.
"Coba aja ada abangnya, pasti gue betah-betah aja di rumah dia."
"Rifen punya abang?" tanyaku penasaran.
"Iya. Sayang banget abangnya kuliah di luar negeri tahun ini. Coba aja dia di sini."
"Kamu suka sama abangnya Rifen ya?" tanyaku asal.
"Ih nggak kok." Racha terdengar mengelak.
"Masa sih?" Ide jahilku mulai muncul.
Wajah Racha mulai serius. "Nggak, beneran. Gue cuman kagum aja. Dia bisa kuliah di luar negeri, jurusan kedokteran pula. Duh, idaman banget, kan?"
Aku mengangguk antusias. Entah kenapa mendengar jurusan kedokteran, aku jadi teringat seseorang.
"Nggak kayak si Rifen. Ngeselin!"
Dahiku mengerut. Sebenarnya dari awal, aku sudah sangat penasaran alasan Racha membenci Rifen. Mungkin sudah saatnya aku bertanya. Walaupun tidak enak hati, tetapi diriku sangat penasaran. Bukannya Racha menganggapku sahabatnya?
"Err... Kalau boleh tahu, kamu kok benci banget sama Rifen?" tanyaku dengan nada menggantung.
"Nggak benci sih. Cuman gue nggak suka aja sama sifat dia." Racha melirikku sekilas sebelum melanjutkan perkataannya. "Dan ini juga ada hubungannya sama Arlan. Tapi gue nggak mau lo salah paham."
Kepalaku bertambah kebingungan. "Hah? Emang aku salah paham gimana?"
"Gue tahu lo suka sama Arlan."
Aku terdiam mendengar pernyataan Racha.
"Zelin, lo bisa bohong. Tapi mata lo nggak bisa."
Aku menunduk. Sepertinya Racha benar, sejak awal bertemu, aku sudah menyukai Arlan.
"Jadi dulu waktu umur delapan tahun, gue pindah ke Jakarta. Pas banget waktu itu rumah gue bersebelahan dengan rumah Rifen. Gue sering banget main ke rumah dia. Selain gue, Arlan juga sering main ke sana. Dan otomatis gue jadi deket sama mereka."
Aku memandang Racha penuh antusias. Jadi ternyata, mereka bertiga adalah teman sedari kecil.
"Duh, tiba-tiba gue kebelet nih. Toilet di mana?" Racha memegang perutnya sembari menatapku melas.
Aku tertawa kecil melihat wajahnya yang memerah. "Di bawah."
"Ayo temenin gue!"
Racha memegang lengan sekaligus menarikku pelan. Alhasil, aku menemani Racha ke toilet hingga kembali ke kamar lagi.
"Tadi gue cerita sampai mana ya?" tanyanya santai.
"Deket sama Rifen dan Arlan," jawabku sambil melihat ponselku yang sunyi saja.
Racha mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan ceritanya.
"Rifen itu selalu gue anggap sebagai saingan. Dia itu pintaaaaar banget! Sedangkan Arlan terkenal bad boy yang sukanya mainin cewek. Jujur gue pernah suka sama Arlan sampai Rifen marah. Dia nanya kenapa gue suka sama Arlan."
Temanku itu mengambil napas sejenak. Aku mengelus pelan bahunya. Dia tampak seperti ingin menangis.
"Gue bilang kalau cewek kebanyakan suka bad boy. Sejak saat itu, Rifen berubah drastis. Gue bahkan nggak ngenalin dia lagi. Hubungan kami merenggang. Sampai gue dengar, Rifen sama Arlan bertengkar. Pulang sekolah, gue ngikutin Rifen. Gue kaget waktu Rifen minta Arlan buat perjanjian dengan dia. Dia bilang, Arlan nggak boleh suka sama gue. Sejak saat itu, gue nggak mau kenal lagi sama Rifen. Arlan juga bertingkah seakan nggak kenal sama gue. Gue nge-down banget, sampai gue ketemu Revi sama Elis."
Aku mengelus punggung Racha berulang-ulang sembari berpikir cara menghiburnya.
"Gue boleh meluk lo?"
Aku mengangguk dan Racha langsung memelukku erat. Dia menangis kencang, membuatku sedikit menahan napas.
"Gue rindu mereka berdua, Zel. Gue pengin kayak dulu."
"Sabar ya, Cha. Suatu saat nanti kalian pasti bisa sama-sama kayak dulu. Kalian hanya salah paham aja."
"Semoga aja ya!" Racha terdengar sangat berharap.
"Makasih udah mau dengerin gue. Kalau ada apa-apa, lo bisa cerita ke gue. Oke?"
Aku mengangguk kemudian mengalihkan pembicaraan. "Udah malem. Tidur yuk!"
Anggukan dari Racha membuat diriku melega. Tak butuh waktu beberapa lama, Racha sudah tertidur pulas di sampingku. Aku mengelus rambut lurusnya. Napasnya teratur. Racha tampak tenang dalam tidurnya. Tak sadar, setetes air mata mengalir di wajahku. Aku menepisnya.
"Aku nggak tahu kenapa susah sekali berbagi cerita dengan kalian. Padahal kalian nggak ragu buat cerita ke aku. Padahal ... kalian baru mengenalku." Nada suaraku memelan.
Aku beranjak dari kasur dan mengambil boneka doraemon mini pemberian sahabatku, Sienna. Bagiku Sienna adalah teman satu-satunya. Bagi Sienna, aku hanyalah satu dari teman-temannya yang segudang. Sebelum terlelap, aku sempat berbisik.
"Sienna, aku rindu."
YOU ARE READING
Diary Of an Introvert (REPOST)✔
Teen FictionFollow @ranikastory on Instagram. Diary Series [1]: Ini aku dan kisahku yang selalu dianggap berbeda hanya karena diriku seorang introvert yang hidup dalam dunia ekstrovert. Aku membenci diri dan hidupku hingga satu per satu kejadian menyadarkanku a...
📓16 - De Ja Vu
Start from the beginning
