📓16 - De Ja Vu

Start from the beginning
                                        

Bibir Elis maju satu sentimeter. "Abis gue kan panik. Waktunya udah tiga puluh menit lagi sih."

Racha mendengkus sebal. "Pokoknya kalau gue lagi fokus, jangan gangguin gue. Entar gue hantam kalian semua."

"Iya deh. Maafin, oke?"

Racha tidak menjawab, hanya mengangguk sekilas. Setelah berdebat, kami keluar kelas dengan Racha berada di depan, memimpin jalan. Racha berpapasan dengan Abel dan Arlan yang ingin masuk ke kelas.

"Duluan aja," ucap Abel datar.

Racha memandang sinis ke arah Abel. Abel membalas tatapannya dengan tersenyum miring.

"Makin lama si Abel makin nyebelin ya. Lagian Arlan mau banget deket-deket sama dia!" Racha berceloteh setelah kami duduk di tempat biasa di kantin.

"Daripada sama Abel, mendingan Arlan sama lo, Zel," katanya lagi.

Aku mengernyit bingung. "Maksudnya?"

"Capek gue jelasin ke elo. Nih makan!"

Revi tertawa sambil berkata, "Makan yang banyak ya, Adik Ipar."

Elis terbatuk seketika."Nggak usah caper lu."

Revi terkekeh sedangkan Elis memasang tampang cemberut.

. . .

Beruntung hari ini aku cepat pulang, jadinya aku bisa tidur siang sepuas-puasnya. Dari kejauhan, kulihat Abel sedang memasuki mobil ditemani dengan Arlan. Setelah Abel menghilang dari lapangan sekolah, tatapan Arlan mengarah kepadaku. Buru-buru aku memalingkan pandanganku. Niatku ingin cepat pergi, namun nyatanya Arlan malah menghampiri.

"Hai."

"Err... Hai juga," jawabku kikuk.

Dia tersenyum. Tuhan, kenapa cowok ini auranya kuat sekali?

"Thanks ya udah nemanin beli bunga. Mamaku pasti suka."

Aku menggaruk tengkuk leher pertanda grogi. "Kan kamu yang milih, bukan aku."

"Tapi kan kamu yang kasih ide."

Aku tersenyum tipis, tidak tahu harus menjawab apalagi.

"Pulang bareng gue ya."

"Hah?" Belum sempat mencerna perkataannya, lagi-lagi Arlan sudah memegang tangan dan membawaku.

"Naik mobil?" tanyaku memastikan. Aku tahu itu mobilnya karena dia pernah membawaku saat kami bolos kemarin-kemarin.

Salah satu alisnya terangkat. "Iya. Kok kaget gitu?"

"Nggak papa."

Aku melamun sampai Arlan mengejutkanku.

"Ayo masuk!"

Refleks aku masuk ke dalam mobilnya. Sepanjang perjalanan, kami senyap saja. Tidak ada yang inisiatif untuk memulai pembicaraan. Ketika sudah sampai di depan rumah, aku mengucapkan terima kasih padanya.

"LinLin, Zelin."

Tubuhku mematung. Panggilan itu. Kenapa aku seperti familiar dengan panggilan itu?

"Kamu manggil aku apa tadi?" tanyaku memastikan.

"Zelin?"

Seketika aku menggeleng cepat. "Nggak. Sebelum itu."

"LinLin?"

Aku merasa seperti de javu. Sekilas bayangan kembali merasuki pikiranku. Baru saja mencoba untuk mengingat-ingat sesuatu, Arlan malah menyadarkanku.

Diary Of an Introvert (REPOST)✔Where stories live. Discover now