26

3.3K 184 4
                                    

Hampir dua minggu berlalu dan hubungan mereka tak mengalami banyak kemajuan. Roland tetap setia mengantar jemput Lea, dan Rafka masih belum diberi satu kesempatan pun untuk mengutarakan perasaanya untuk Lea. Sungguh miris.

Hari ini, setelah Roland mengantarnya pulang, Lea menghempaskan tubuhnya yang masih memakai seragam ke kasur king size-nya. Hari yang benar-benar melelahkan, melelahkan bagi fisik dan mental Lea. Roland benar-benar berubah seratus delapan puluh derajat. Roland yang dulu selalu menjahili Lea, kini selalu memperlakukan Lea dengan begitu manis. (sampe-sampe Rain jadi diabetes, #abaikan)

Roland.anggara : ntr mlem lo free kan? Gw jemput jam 7. Mumpung lagi malam minggu nih.
Roland.anggara : gw gk terima penolakan. Titik.

AzaleaM : kenapa?
AzaleaM: ih, kok gtu sih?

Percakapan mereka hanya sampai disitu, lebih tepatnya, Roland tak lagi membalas pesan dari Lea.

Anjer nih anak, tambah lama tambah ngeselin. Lea membatin.

Lea hendak tidur sejenak untuk mengistirahatkan otak dan hatinya yang seolah sedang diuji oleh tingkah Roland dan perasaannya pada Rafka. Tiba-tiba ia teringat kejadian beberapa hari yang lalu saat Sherin menghampirinya dan mengatakan kalau Rafka ingin membicarakan sesuatu dan menunggunya di taman belakang, awalnya Lea akan menuruti hatinya yang mengatakan agar ia menemui Rafka, tapi lagi-lagi Roland datang dan menyeretnya untuk ke kantin. Entah apa yang ingin dibicarakan Rafka saat itu. Ia penasaran, tapi ia tak ingin memikirkannya lagi. Tapi percayalah, hampir setiap hari, Lea masih sering memikirkan Rafka. Plis deh, setiap hari ketemu di kelas, gimana ngga kepikiran? Gimana bisa move on?

Apalagi, seringkali mata mereka bertemu, dan setidaknya Lea bisa menemukan keputusasaan dari pancaran mata Rafka. Lea sendiri tak berani menyimpulkan terlalu banyak, takut semua pertahanan yang ia bangun akan hancur hanya karena sebuah harapan semu yang muncul dari sebuah tatapan yang sarat akan keputusasaan.

Lamunan Lea tentang Rafka buyar seketika suara cempreng milik sang sepupu menggema diseluruh sudut ruangan.

"Spupu!! Wiraryu?!" Teriakan Jia menggema. Lea segera berpura-pura tidur, ia sedang malas direcoki oleh 'sepupu tak tau diri'nya itu. Lea yang berbaring membelakangi pintu bisa mendengar Jia yang membuka pintu kamarnya.

"Ngga usah pura-pura tidur deh lo. Bangun cepet." Ujar Jia mengguncang tubuh Lea.

"Oke, gue bangun. Ada maksud apa lo kesini?" Balas Lea dengan wajah datarnya.

"Ih, sensi amat. Lo lagi pms, ya?"

"Bacot."

"Dih, baper. Gue bawain cemilan kesukaan lo noh di bawah." Ujar Jia. Matanya berkedip-kedip seperti orang kelilipan dengan senyum yang ia buat se(sok)imut mungkin.

"Muka lo jelek." Singkat, padat dan jelas.

"Tumbenan beliin gur cemilan, pasti ada maunya." Cibir Lea. Percayalah, Jia itu kadang pelit gak ketulungan. Lea nitip air mineral di kantin sekolah aja ogah, apalagi beliin cemilan kesukaan Lea.

"Hehe, tau aja." Cengir Jia.

"Bantuin gue ngerjain tugas remed Pak Rio, ya? Lo kan tau gimana otak gue kalo ngeliat angka." Lanjut Jia lengkap dengan puppy eyes.

Ketua Kelas[END]Место, где живут истории. Откройте их для себя