23. The Bias Dream

152 23 7
                                    

23. The Bias Dream


"Megan... Megaaaan, coba lihat ini!" Claire pada suatu siang datang mencari Megan di selasar sekolah. Di tangan Claire ada satu flyer bergambar siswi berseragam unik memegang pom-pom.

"Kau mau masuk anggota cheerleaders?" tanya Megan.

"Yeah, kenapa tidak!" jawab Claire yakin. "Sabtu siang coach akan mengumpul anggota baru untuk rekrutmen tahun ini. Kau mau ikut?"

Megan menggeleng lemah, berusaha menolak sesopan mungkin. "Aku tidak tertarik dengan dunia cheers, Claire."

Claire menatap Megan serius. "Ayolah Megan. Ini kesempatan emas. Sayang jika kau tak mencobanya."

"Apa alasanmu masuk club itu? Aku tak punya alasan yang jelas Claire."

Claire menatap Megan, lalu dengan senyum mengembang ia berkata.

"Ini kulakukan karena dua hal, tentu saja. Satu, karena aku memang suka dengan cheers dan hal lain karena aku ingin dekat dengan satu anggota tim football. Lagipula akhir tahun nanti, sekolah akan memberi beasiswa untuk kandidat berkualitas. Kau tak tertarik?"

Megan mengernyit bingung, tentu saja bukan karena isu beasiswa yang dikatakan Claire. "Kau melakukannya karena seseorang?"

Claire mengangguk beberapa kali dan tersenyum, membuat rambut indahnya terurai ke depan. Ia menyerahkan sisa flyer ke tangan Megan. "Simpanlah, tidak ada salahnya mencoba hal baru. Hari sabtu kutunggu kau di lapangan sekolah."

Claire berlalu meninggalkan Megan yang masih berdiri di selasar. Tak yakin dengan benda yang diserahkan sahabatnya tadi, Megan menyimpan flyer itu di dalam tasnya tanpa melihat.

Ia kembali berjalan ke ruang kelasnya. Tapi baru beberapa langkah, Megan terhenti karena mendengar seseorang berbicara.

"Kau tidak cocok masuk anggota cheers," ucap seseorang dingin.

Gadis itu berhenti seketika. Ia berniat membela diri mengatakan pada orang itu bahwa ia tak punya hak berkata demikian.

Namun, bahkan jantungnya pun ikut terhenti ketika berbalik karena Dave berdiri di hadapannya memegang selembar flyer.

"Kau menjatuhkan ini tadi," tambah Dave, menunjuk kertas di tangan kanannya.

"Tadi... Kau yang mengatakan aku tidak cocok masuk cheers? Apa maksudnya?" tanya Megan.

Dave menggidikkan bahunya malas, menatap Megan dengan raut dingin.

"Seperti yang kubilang tadi kau sama sekali tidak cocok masuk club itu. Terimalah."

Dalam benak Megan, ia memang tidak memiliki rencana sama sekali bergabung dengan club itu, tapi mendapat sanggahan secara langsung membuatnya terdengar seperti ia tidak memiliki kepantasan.

"Apa maksudnya tadi?" tanya Megan kembali.

"Aku bilang kau sangat tidak cocok masuk club itu. Bukannya memang kau tidak menyukai hal semacam ini, Megan? Mengapa memaksakannya?"

Karena merasa terganggu dengan ucapan Dave, Megan dengan rasa kecewa meninggalkan lelaki itu berdiri di sana.

"Lihat saja nanti," gumam Megan sendiri.

***

Sean datang ke dalam kelas, melihat Megan yang duduk sendiri di bangkunya dan langsung menghampiri gadis itu.

"Hey," sapanya, tapi Sean mengernyit bingung ketika Megan tidak menyahut.

"Hey, Megan." Sean mendekati wajah Megan dan meniupkan udara ke matanya, membuat gadis itu kaget bukan main. Matanya yang terkena udara ditutup Megan dengan tangan.

Sean tertawa jahil saat wajah Megan memerah. "Sean, apa yang kau lakukan?"

Sean tidak menggubris, ia duduk di depan Megan. Tanpa aba-aba, menyingkirkan tangan yang menutup mata Megan dan menyapu pelan matanya dengan ibu jari.

Sontak seluruh kelas terdiam melihat itu.

"Maaf, kau tadi melamun. Kupikir itu tidak sakit. Maaf," ucap Sean ditengah aksinya dalam kelas.

Mendapat sentuhan dari tangan Sean membuat Megan berhenti sejenak, setelahnya ia menyingkirkan tangan itu dengan paksa. "Cukup, Sean."

"Apa yang akan kita lakukan untuk tugas kelompok kita? Kau mau datang ke rumahku atau aku datang ke rumahmu, Megan?"

Megan menghela napas. Ucapan Sean tempo hari bukan cuma omong kosong belaka. Sean menjadikan mereka satu tim.

"Terserah dirimu," jawab Megan.

"Kalau begitu, aku yang akan datang ke rumahmu," ucap Sean berdiri mengusap rambut Megan dan berlalu keluar kelas.

Megan yang sedang merasa malas karena sikap dingin Dave tadi, tak mengacuhkan Sean dan seisi kelas yang berbisik tentang sikap anak kepala sekolah itu.

***

Hari sabtu, waktu yang ditunggu Megan untuk mencoba hal baru, akhirnya datang.

Tiga hari ini, ia terus berpikir, mencoba menimbang kemungkinan dan kesempatan yang bisa ia raih.

Pagi itu, Megan terbangun lalu melihat ponsel yang tergeletak di meja. Ada satu pesan dari Claire.

Kutunggu di lapangan jam 9.

"Sial, setengah jam lagi," teriak Megan histeris.

Tanpa berpikir dua kali, ia berlari ke kamar mandi, berpakaian secepat yang ia bisa.

Pagi itu, ia datang ke sekolah naik bus yang memang melewati sekolahnya. Ia hampir terlambat jika saja ia tidak lari.

Suara peluit terdengar, sontak siswi seangkatannya berlari memasuki lapangan.

Megan mengecek jamnya lalu berlari menyusul ketinggalannya. Baru saja akan berbelok masuk, tangannya dicegat seseorang.

"Apa yang kau lakukan, Megan?"

"Apa yang kau lakukan, Megan?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

03082017

With Love

The Hidden Feelings (Semua Orang Punya Luka)Where stories live. Discover now